Senin, 05 Maret 2012

Bukan Cerpen Biasa

Saya mau sharing ah! Tentang Pak Pos (bukan yang ganteng) yang pengen curhat. Beliau memintaku untuk menulis kisah hidupnya di lembaran- lembaran kertas karena yang ia tahu saya ini seorang penulis. Tapi beliau nggak tahu kalau saya ini penulis sastra pop bergenre teenlit. Huah! waktu itu aku rada mikir, bisa nggak ya. Akhirnya ku paksain nulis. Yah, Bapak itu memang menceritakan sebagian kisah hidupnya. Tentang ini dan itu. akupun bisa menangkapnya meski sulit akhirnya cerpennya aku selesaikan dalam waktu 2 bulan! FIUHH! Nggak tau deh bapak itu suka atau enggak!
Oke, saatnya membaca! Xie Xie :) 


TUHAN MENYAYANGIKU DAN ISTRIKU
By Vivie Hardika SS


Alur hidup yang semula ku kira lurus dan mulus, kini dipenuhi onak dan kerikil- kerikil kecil. Pedih, perih, semakin hari aku semakin terbiasa. Menjalani rutinitas yang tidak seharusnya dilakukan oleh Kepala Rumah tangga sepertiku.

Setelah menina bobokkan dua putri kecilku, aku masuk ke kamarku. Menyapa istriku yang masih setia dengan senyumnya yang menawan. Ranti, istriku membalas senyumku dengan tatapan matanya yang menyendu. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuat kedua bola matanya kembali bersinar seperti dulu. Seperti jauh sebelum keadaan ini membuatku tidak bisa memilih. Aku sudah berulang kali mengatakan padanya, jangan khawatirkan aku. Aku bisa menggantikan semua pekerjaannya.
Aku menarik selimut dan mematikan lampu baterei di atas meja dekat kasur kami. Ketika aku ingin memejamkan mataku yang sedari siang merasa kelelahan, Ranti membuka suara dan mulai membuatku bertambah kesal. Yah! Aku sering sekali kesal mendengar obrolan yang berulang kali dilontarkan istriku. Aku tahu dia sedang bersedih, namun aku adalah orang yang lebih bersedih mendengarnya terus meratapi kehidupan yang sudah digariskan Tuhan untuk kami. Istriku berubah menjadi seorang yang naif buatku.
“Pak, jangan lupa untuk menjaga anak baik- baik yah.” Ujarnya. Suaranya miris, sesekali mengisak. Aku bisa menebak ada banyak bulir air mata yang sedang membasahi pipinya saat ini.
Aku tak memandangya. Aku tidak menyukai obrolan ini lagi.
“Hhmm!!” sahutku dengan mata yang memejam. Aku tidak mau menanggapi ucapan ini lagi ini lagi. Jikalau hanya untuk memancing pertengkaran di malam yang semakin larut itu juga percuma.
“Jadikan kedua putri kita wanita yang tegar dan pantang menyerah. Jadikan mereka putri yang selalu menyayangimu, dan berguna buat suami mereka kelak.”
Aku memeluk gulingku semakin erat. Hawa dinginpun mulai merasuk ke sekujur tubuhku. Bahkan sehelai selimutpun tidak bisa mengurangi kadar kedinginan malam ini.
“Maafkan aku ya, Pak. Aku nggak bisa jadi istri yang baik buat Bapak..”
Ranti terus mengucapkan kata-kata yang sama seperti malam kemaren. Aku kesal, namun aku tidak mau membuatnya semakin berkecil hati.
Aku bangkit dan memandangi istriku yang sudah berlinangan air mata. Mungkin aku tidak bisa merasakan sakit yang ia dera, namun aku yakin dengan semangat dan tekad yang kuat ia akan sembuh dan kembali menjadi istriku yang shalehah lagi. Kesedihanku jauh lebih banyak daripada kesedihannya akan nasib rumah tangga kami. Tidak ada yang bisa mendahului Tuhan, pikirku.
“Sudahlah, Bu! Sudah waktunya Ibu tidur!” aku menyelimutinya, dan mengecup keningnya sebagai ucapan selamat malam untuknya. Tak ku biarkan lagi dia terus berbicara. Satu kata yang keluar dari mulutnya semakin membuat hatiku tergores. Jikalau aku bukan lelaki, mungkin air mataku sudah tumpah.
**

Aku belum bersiap membuka kantor. Aku masih direpotkan oleh dua buah hatiku, dan juga keponakanku yang tinggal bersamaku paska kepergian ayah dan ibunya. Dennis namanya. Bahkan nasibnya lebih tragis daripada ujian Tuhan untukku. Di usianya yang baru akan menginjak umur 11 tahun, kedua orang tuanya harus pergi karena kecelakaan motor. Dennis anak tunggal. Istriku memintanya tinggal bersama kami, sebagai teman dari kedua putriku, Abang untuk kedua putriku. Awalnya banyak yang tak setuju, terutama dari keluarga terdekat Dennis, namun istriku paling pintar membujuk mereka.
Aku mulai bingung harus membuatkan sarapan anak- anak terlenih dahulu atau membuka kantor. Aku putuskan agak terlambat membuka kantor. Aku harus menyelesaikan urusan rumahku, menghantar putri- putriku ke sekolah, dan juga menghantar Dennis ke sekolahnya yang tak dekat dari rumahku. Dulu ia berbeda tinggal dari tempatku. Biaya perpindahan sekolah lumayan besar, sehingga aku nggak mungkin memindahkannya. Terpaksa aku harus menghantarkannya setiap pagi dan menjemputnya saat terik matahari membakar kulit.
“Pak, kantor biar saya saja yang buka..”
Itu Fahri, rekan kerjaku. Di kantor pos kecamatan Air Batu- kecamatan  di sumatera Utara, tak banyak memperkerjakan pegawai. Hanya aku dan Fahri saja. Untunglah hari ini dia mempercepat diri untuk menggantikanku membuka kantor sebelum matahari semakin menaiki langit.
Setelah semua urusan tak biasaku selesai, aku kembali ke profesi sebenarnya diriku. Aku kembali dipusingkan dengan tugas- tugas dari pelanggan setia kantor pos. sesekali aku mengeluh ketika melihat banyaknya orang menunggu. Tapi apa mereka tahu apa yang aku alami? Mereka tidak seharusnya mengerti karena tugasku adalah melayani mereka.
“Terima kasih ya, Pak..” ucapku ketika satu persatu dari mereka ku layani.
Memang sulit bagiku untuk menggantikan tugas istriku mengurus rumah dan mengurus anak- anak. Jikalau saja istriku masih sehat walafiat, mungkin aku tak akan menderita kelelahan batin seperti ini. Ribuan doa telah ku panjatkan kepada sang Khalid. Jikalau ini memang sudah takdirnya, sematkanlah keikhlasan dalam hatiku, Ya Tuhan…
Aku melirik jam kantor. Pukul 11,30 siang. Sudah waktunya keponakanku pulang. Aku harus menjemputnya, karena jikalau tidak, kasihan Dennis kalau harus naik angkot sendirian.
Aku menitipkan kantor pada Fahri, dan aku mulai mengendarai sepeda motorku menuju tanjung balai, tempat di mana Dennis sekolah. Seharusnya aku sudah memindahkannya dari sekolah lamanya, namun lagi- lagi karena keterbatasan biaya yang lebih baik aku sisihkan untuk istriku, sehingga aku belum memindahkannya. Aku harap Dennis maklum dengan keadaanku.
**

Seandainya istriku masih bugar, masih bisa memasakkan menu yang lezat setiap harinya, mungkin aku tidak akan pernah mengeluh. Jika saja penyakit itu tidak menggerogoti istriku perlahan- lahan, mungkin sekarang ini aku bisa tersenyum sambil menggendong buah hati kami.
Kini istri tercintaku hanya bisa berbaring. Ia tidak bisa melakukan apa- apapun kecuali berbaring. Bahkan untuk mengunyahpun ia harus merasakan sakit terlebih dahulu. Ingin aku merasakan juga sakitnya.
Buah hatiku yang kecil sering merengek, dan aku kurang bisa mendiamkannya sebagaimana istriku yang memomongnya. Syukurlah putri tertuaku yang masih berumur 10 tahun bisa mengerti bagaimana keadaan Ayah dan Bundanya sekarang. Putriku yang bernama Aliya ini sangat membantuku mengurus rumah, seperti mencuci piring, menyapu halaman, dan pekerjaan ringan lainnya.  Mau bagaimana lagi, aku tak bisa menggaji buruh. Lebih baik aku menabungnya untuk biaya perobatan istriku ataupun tidak, menebus obat istriku.
Istriku menderita kanker mulut. Diperlukan banyak biaya untuk operasi. Sebelum operasi dilakukan, istriku harus menjalani berbagai terapi yang bisa menunjang kesembuhannya. Untuk istriku aku siap melakukan apapun termasuk untuk menamaninya berobat.
Aku yakin Tuhan tidak akan mencoba umatnya jika tidak ada jalan keluarnya. Maka dari itulah aku memohon kepada-Nya untuk memberikan ku jalan yang terbaik atas masalah yang aku alami saat ini.
Peluh kesal sering juga tersemat di dada, namun aku masih punya Tuhan tempat pengaduanku. Setiap aku mengeluh, aku mencoba untuk bersabar. Ketika dada ini mulai sesak aku lari kepada-Nya. Aku yakin Tuhan mendengar semua doa dan jeritan hatiku.
Aku panik melihat istriku terbaring di rumah sakit. Besok adalah masa sulit baginya di mana ia harus berjuang sendirian mempertahankan hidupnya. Besok istriku di operasi. Ku harap ia sembuh dan kembali menjadi istriku yang dulu.
Tak lain yang kulakukan selain berdoa.  Bahkan aku minta cuti untuk menemani istriku beberapa hari ini. Kedua putriku dan Dennis, aku titipkan kepada orang tuaku. Saat ini, istriku lebih membutuhkan aku. Aku adalah satu- satunya penyemangatnya, bukan?
Operasi selesai beberapa jam kemudian. Hatiku yang sedari tadi panik kini semakin mengerikan bunyi detakannya. Saat dokter keluar dari ruang operasi aku lihat mimik wajahnya lemas. Aku semakin cemas. Ada apa dengan istriku, dok?
Dokter menepuk pundakku. Ya Tuhan, apa yang terjadi?
“Maaf, Pak. Kami tidak bisa menyelamatkan istri, anda..”
Jantungku melemah. Inikah jalan terbaik yang diberikan Tuhan padaku. Apa jadinya aku jika tanpa istriku? Bagaimana nasib anak- anakku tanpa seorang Ibu? Ya Tuhan, apakah benar ini yang terbaik?
Aku mencium kening istriku sebelum ia benar- benar pergi dari kehidupanku. Semoga Tuhan menjagamu sampai takdir menemukan kita kembali, sayang. Tenanglah di sisinya.
Mungkin memang inilah jalan yang terbaik. Kesakitan yang selama ini dirasakan istri tercintaku berakhir sudah.  Meskipun ini pahit, namun inilah kenyataan. Cinta Tuhan kepada istriku lebih besar daripada cintaku sendiri.
Tuhan menyayangiku dan istriku. Tuhan telah berjanji untuk mengambil istriku hari ini, maka hari inipun tiba. Aku juga tidak bisa berbuat apapun untuk menghalau semua ini terjadi.
“Yah, Ibu kok nggak bangun- bangun? Yah, banguni Ibu. Bilang sama Ibu banyak tamu..” celoteh saskia, putri terkecilku.
Air mataku tumpah ketika Saskia menanyakan hal itu. Aku harus jawab apa? Aku harus bagaimana? Umurnya masih terlalu kecil untuk mengerti takdir Tuhan. Namun aku juga tidak bisa membohonginya terus- terusan.
Aku mendekap erat putri terkecilku dan juga putri tertuaku.
“Ibu masih capek, sayang. Biarkan Ibu tidur dulu.” Kataku dengan air mata yang tidak bisa lagi ku bendung. Suatu hari nanti kedua putriku akan mengerti bagaimana Tuhan yang lebih mencintai Ibu mereka ketimbang Ayahnya sendiri.
**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan malu- malu untuk berkomentar. Silahkan berikan komentar terbaik anda ^_^ Xie Xie Ni