Sabtu, 24 Maret 2012

ALLIEN CUNGKRING (REVISI)

 ALLIEN CUNGKRING DAN ALLIEN CUNGKRING THE SERIES


Sudah ada yang punya bukuku belom? Kumpulan cerpen "Allien Cungkring" yang aju terbitin sendiri di Leutika Prio. Belum punya yah? 

Nah, kemaren itu kan aku posting "Allien Cungkring The Series" pasti pada bertanya- tanya kan? Seperti apa sih yang bukan series-nya. Nah, sebelum kalian baca seperti apa  story of the real "Allien Cungkring" lebih baik aku cerita sedikit mengenai perbedaan dan persamaan antara "Allien Cungkring" dengan "Allien Cungkring The Series".


Biasanya, kalau the series itu kan nggak beda jauh sama yang asli. Eits.. Tapi yang ini beda.  Tapi tetep masih punya persamaan kok. Meskipun persamaannya itu 25 persen dari 75 persen perbedaannya. (bribet)

Di "Allien Cungkring" nama tokoh-nya Fadika dan Vina. Sedangkan di "Allien Cungkring The Series" tokohnya bernama Alline dan Dion. Memang masih mengandung nama Vina dan Fadika, tapi diselipkan menjadi nama tengah. Karena nama sudah berbeda, karakter tokohnya juga berbeda. Vina adalah gadis lugu yang suka memendam perasaan sampai akhirnya lepas begitu saja. Sedangkan Alline, cewek tomboy yang kasar. Fadika dalam "Allien Cungkring" tidak terlalu dominan. Hanya diceritakan dari sudut pandang Vina. Tidak jelas, begitulah istilahnya. Sedangkan dalam "Allien Cungkring The Series" karakter Dion sangat jelas. Dion yang comel, suka sirikan dan tidak pernah mau ngalah.

Dari setting juga berbeda, meskipun masih sama- sama di sekolah. Perbedaannya, Dion dan Alline masih duduk di kelas X sedangkan Fadika dan Vina, di kelas XI sampai XII.
Dalam"Allien Cungkring" tokoh pendukung sangat terbatas. Sedangkan di "Allien Cungkring The Series" banyak sekali tokoh pendukung yang akan muncul. Karakter mereka juga akan saya perkuat.

Yah, karena masih episode perdana, belum terlihat jelas perbedaan antara "Allien Cungkring" dan "Allien Cungkring The Series" tapi yang pasti cerita-nya sangat jauh berbeda.

Supaya kalian tidak penasaran dengan the real Allien Cungkring, nih saya posting. Tapi dalam format revisi. Karena yang asli itu kacau balau. Sangat kacau sekali. Maklumlah, masih culun bulun!

Happy Reading Blogger terlove.
Xie Xie :)

ALLIEN CUNGKRING (REVISI)




  “Vin, kemaren gue ketemu sama Cungkring loh!” Lala, temanku memberitau kabar itu padaku.

Spontan aku tersentak dan ingin tau kisah selanjutnya.
“Yang bener lo?” tanyaku beringas.
Lala hanya mengangguk. Dan mulai menceritakan bagaimana ia bisa bertemu dengan orang yang bernama Cungkring itu.
“Iya, kemaren gue ketemu dia di warnet. Pas gue keluar, dia masuk. Ya udah gitu ajah!”
Lala hanya menceritakan hal yang singkat. Tapi itu cukup untuk melepaskan kerinduanku kepada orang yang ku beri nama ‘allien Cungkring’ itu.
Sejak lulus SMA, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Rumah kami memang tidak terlalu jauh, tapi juga tidak terlalu dekat. Namun begitu sudah sebulan aku tidak bertemu dengan dia sejak hari kelulusan itu.
Di hari itu aku melihatnya bersama teman- temannya. Mencorat- coret seragam tanda kebahagiaan karena sudah lulus dari bangku SMA.
Aku tidak menghampirinya, karena dia bersama teman- teman sekelasnya. Dan aku juga bersama teman sekelasku. Sebagai cewek, aku malu mendekatinya duluan. Bahkan dia tidak tau, kalau aku menyukainya. Itu mungkin saja.
Rasanya baru kemaren aku dan ketiga temanku menikmati ketampananya. Tapi sekarang, tak ada harapan lagi untuk kami saling bertemu.
Kami memang tidak satu sekolah. Tapi sekolah kami depan- depanan. Aku bersekolah di SMA Daerah, dan dia di SMA Negri 1 di sebuah kecamatan kecil di Provinsi Sumatera Utara yang bernama Air Batu. Dan masyarakat sekitar menamakannya ‘ Air Batu Pengkol’.
Kenapa aku tidak satu sekolah dengannya? Itu karena NEM ku tidak memenuhi syarat untuk masuk ke sekolah itu. Bukan keinginanku masuk ke sekolah yang aku sekolahi sekarang.
Mungkin kalau di adakan ujian masuk dan tidak melihat NEM  tertinggi, mungkin aku bisa bersekolah di SMA Negri itu. Otakku kan cukup lumayan. Hehehe.. Tapi, Mungkin memang sudah takdir, aku mendapat NEM jelek pada UN SMP waktu itu.
*
PUKUL 12.45 DI LAPANGAN VOLLEY.
Siang itu, kelas XI IPA berada di lapangan, karena hari ini jam pelajaran olahraga berlangsung. Olahraga di siang hari memang melelahkan. Tapi kami memberontak supaya  berolahraga di luar saja. Sekedar bermain volley karena sudah capek menerima pelajaran sebelumnya, seperti Kimia dan Fisika.
Seluruh anak perempuan hanya bisa duduk- duduk sambil memberi support pada anak lelaki yang sedang berada di tengah lapangan dan mengoper bola ke sana ke mari.
Aku dan kedua temanku, Lala dan Dhea, duduk tepat di depan kantin sekolah sebelah. Di kantin itu tampak beberapa cowok yang juga melihat pertandingan Volly sekolahku.
Di tengah pertandingan, Dhea berkata padaku tentang salah satu di antara cowok yang di kantin itu.
“Vin, lihat deh! Cowok itu cute banget yah!” Dhea memberitauku dan Lala.
Pandangan kami langsung tertuju pada seorang cowok yang di tunjuk Dhea.
Memang benar, cowok itu sangat cute. Dari kejauhan, kami bisa melihat betapa tampannya cowok dari sekolah sebelah itu. Dan yang membuat kami geregetan adalah, sepasang mata yang terlihat indah ketika kami memandangnya dari kejauhan. Sepasang matanya sipit. Dan wajahnya mirip orang yang ada di drama- drama Asia. Yup, wajahnya sangat oriental.
“Iya ya, cowok itu cute juga!” aku baru tersadar bahwa ada makhluk yang cute di seberang sana.
“Siapa namanya?” Lala juga ikut- ikutan terpesona oleh ketampanan cowok yang berada di sebrang sana.
“Mana ku tau!” jawabku kilat dan memberi kesan tak peduli.
Aku memang mengakui wajahnya yang cute, tapi aku tidak begitu peduli dengannya. Masa bodoh, itu yang kulakukan. Lain dengan Dhea, ia terus memandangi tingkah pola cowok yang kami akui cute itu.
“Aku rasa dia itu temennya Jojo!” tambahku lagi.
Mengingat seringnya aku melihat cowok cute itu bersama dengan Jojo, teman sekelasku dulu waktu di SMP.
“Kok lo tau?” Dhea mengintrogasiku, seakan- akan dia adalah polisi yang sedang mengintrogasi tersangka pembunuhan.
“Soalnya, sering gue liat, dia boncengan gitu sama Jojo. Aku rasa dia sering bolos pelajaran sama Jojo.” ujarku lagi.
Aku tetap saja tidak peduli dengan cowok yang kami bilang cute itu. Mataku masih tertuju pada permainan Volly kelasku. Berteriak ketika tim favoritku berhasil dan mencetak angka.
Esoknya, kami melihat cowok cute itu berjalan di sekitar sekolahnya bersama Jojo. Seperti biasanya, Dhea memberitauku keberadaan cowok cute yang belum juga kami ketahui namanya.
“Lihat guys, cowok cute itu sama Jojo.” ujar Dhea tanpa melepas sedikitpun pandangannya ke cowok itu.
“Lo naksir sama dia?” tanyaku begitu melihat tingkah aneh Dhea setelah kemaren.
“Enggak ah. Aku cuma suka aja ngeliatin mukanya yang cute! Apalagi matanya yang sipit.” Dhea terus menyangkal meskipun aku dan Lala terus meledeknya.
Hari ke hari Dhea selalu mengintip aktivitas cowok cute itu dengan teman sekelasnya. Bahkan dia rela bolos pelajaran hanya demi melihat cowok cute itu berolah raga. Tapi itu tidak berlaku padaku dan Lala. Aku tidak memperdulikan cowok cute itu sedang apa, lagi di mana, sama siapa, atau ke mana. Yang selalu memperhatikan cowok itu hanyalah Dhea, temanku yang selalu saja lebay kalau liat cowok ganteng.
*
INFORMASI DARI BEST FRIEND
Hari ini aku kedatangan tamu. Bukan tamu jauh, tapi tetangga sebelah. Dia sahabatku dari kecil. Dan dia lebih muda dariku satu Tahun. Namanya Lintang.
Sejak kecil, aku dan Lintang sudah bersahabat baik. Bahkan sangat baik. Dia best friend aku selain Dhea dan Lala. Tapi dia best of the best bagiku. Karena dia yang paling mengerti aku. Meskipun umurnya lebih muda dariku, tapi dia selalu mengalah ketika otak kerasku kumat. Lintang selalu mengalah padaku.
Kami berdua memang selalu main bersama sampai kami besar, dan mungkin akan terus berlangsung sampai kami nini- nini. Hehehe.
Hari itu dia datang kerumahku. Sekedar ingin mengobrol denganku. Mungkin ada yang ingin aku curhatkan padanya mengenai Kakak kelasku yang sudah 2 tahun lalu aku sukai. Tapi aku tidak berani mengatakannya. AKu berpikir, bisa akrab saja dengannya, aku sudah senang. Ya, aku dan Kakak kelas yang bernama Dennis itu memang tetanggaan.
Di tengah kebersamaan kami saat itu, seorang cowok yang di katakana Dhea cute itu melintas. Karena dia gebetan Dhea, aku melihatnya sampai batang hidungnya tidak kelihatan lagi.
“Lo ngapain ngeliatin orang sampe segitunya?” tanya Lintang yang heran melihat ekspresi diriku yang segitunya melihat orang.
Setau dia, aku tidak peduli pada cowok lain kecuali Dennis, Dennis dan Dennis.
“Enggak ah. Cuma gue kalo liat dia teringat sama Dhea!”
“Kenapa sama si Dhea?”
“Kayaknya, si Dhea naksir sama cowok itu. Katanya cute!” ujarku lagi.
“Oh, jadi si Dhea naksir sama Kak Fadika?”
Aku baru ingat, kalau Lintang satu sekolah dengan gebetan Dhea yang cute itu.
“Siapa namanya?” tanyaku spontan begitu mendengar Lintang menyebutkan satu nama yang asing bagiku.
“Fadika. Dia itu Kakaknya teman sekelasku. Namanya Fadika. Dia itu popular di sekolahku. Fansnya cewek- cewek semua, dari senior sampai junior. Udah kayak seleb aja dia di sekolahku.” ujar Lintang lagi.
“Termasuk dirimu?”
“Enak ajah. Kan gue gak bilang kalau gue juga nge-Fans sama dia!” sangkal Lintang dengan ekspresi wajah yang meyakinkan.
“Oh, gue kira, lo juga ngefans. Pantas aja, dia banyak yang ngefans, orang cute gitu!” ujarku senang begitu mengetahui nama cowok cute itu.
Aku rasa, bukan hanya senang mendengar namanya, tapi ada sisi lain di hatiku yang membuat aku senang mendengar nama itu. Tapi ya sudahlah. AKu tidak peduli dengan nama cowok cute itu. Toh yang aku rasa menempati hatiku secara full, hanyalah Kak Dennis, Kak Dennis and just Kak Dennis.
“Ah, gak pala kayakku! Lebih keren adeknya, deh!”
Lintang bahkan tak sependapat dengan beribu orang yang nge-fans sama Fadika.
“Adeknya? Siapa?”
Aku juga ingin tau, siapa adek Fadika yang di katakana Lintang itu. Sekedar tambahan informasi untuk Dhea besok.
“Rama. Menurutku Rama itu lebih keren dari Kak Fadika!” ujarnya lagi.
“Oh, jadi lo naksir sama Adeknya?”
Tanyaku menebak ucapan Lintang barusan.
“Eh, enak ajah.!” lagi- lagi, Lintang menyangkalnya. “Gue bilang adeknya keren, bukan berarti gue naksir. Gue cuma suka aja berteman sama Rama, karena dia enak di jadiin temen. Humoris tau gak. Gak kayak Kak Fadika yang pendiem itu.” nada bicaranya naik satu oktaf.
“Iya.. iya..” aku mengalah.
Besoknya, aku langsung memberi informasi yang baru kudapat dari Lintang kemaren. Aku mengajaknya ke kantin sambil melahap beberapa bakso kesukaanku.
“Eh, lo tau gak nama cowok cute itu? Gue tau loh!” ujarku memancing ekspresi ganjen Lala dan Dhea.
“Siapa?”
Sudah ku duga, Dhea adalah orang yang pertama yang bertingkah norak, seperti biasanya. HUuuh, lebay.
“Siapa namanya, Vin?” Lala juga penasaran. Tapi ekspresinya tidak selebay Dhea.
“Fa-Di-Ka!” jawabku.
Aku tidak mungkin menyimpan nama cowok yang menurutku tak begitu special untukku.
“Fadika, keren juga ya namanya. Sama kayak orangnya!”
Ya, kata itulah yang di ucapkan Dhea begitu mendengar nama cowok cute itu.
“Eh, adeknya juga gak kalah keren loh!” ujarku lagi, menambahkan informasi tentang Fadika.
“Kok lo tau?” Lala heran mendengar pernyataanku barusan.
“Adeknya kan teman sekelasnya si Lintang. Makanya, gue tau namanya Fadika..” jawabku masih cuek- cuek ajah.
*
2 BULAN, DIA TAK PERNAH TERDENGAR LAGI
Sudah lama aku tak mendengar, Dhea membicarakan Fadika sebagai gebetannya. Dan aku rasa, dia sudah melupakannya, karena ada cowok keren lainnya yang menembaknya dan akhirnya mereka jadian.
Memang pacar baru Dhea itu bukan anak sekolahan, tapi anak kuliahan. Mungkin pesona cowok itu melebihi pesona Fadika yang sama sekali tak pernah mengobrol dengannya. Meskipun kami kenal Fadika sekitar 3 bulan lalu, toh itu tidak membuat Fadika mengenal kami. Apalagi Dhea. Dhea kan bukan cewek popular seantero dua sekolah. Kalaupun dia mengenal salah satu di antara kami, itu mungkin hanya aku. Karena di antara Lala dan Dhea, hanya aku yang agak popular di sekolah. Hehehehe..
*
SEMINGGU SEBELUM PERAYAAN KEMERDEKAAN.
Seminggu lagi 17 Agustus. Hari kemerdekaan Indonesia yang setiap tahunnya di rayakan dengan besar- besaran dan penuh semangat.
Pada saat itu, sekolah kami mengadakan perlombaan untuk menyambut 17 agustus. Termasuk sekolah si cowok cute yang sudah 2,5 bulan tidak kami dengar lagi namanya lewat Dhea.
Sekolah sebelah juga mengadakan berbagai perlombaan untuk menyambut 17-an. Dan pada waktu itu, aku melihat sekolah sebelah terdengar riuh menepuki permainan Volly yang seru itu.
Karena mendengar teriakan yang begitu histeris, aku jadi memusatkan pandanganku ke lapangan Volly sekolah sebelah. Dari kejauhan, aku bisa melihat Jojo dan Fadika tentunya. Cowok yang 3 bulan lalu aku akui cute itu.
Aku terus menyaksikan jalannya pertandingan itu. Terus sampai 2 babak. Tapi pandanganku hanya mengarah pada satu orang saja. Fadika. Aku hanya memandangi tingkah polanya selama berada di lapangan Volly. Aku terus memandangnya dari kejauhan, karena bagiku, dia yang paling menarik untuk di pandangi. Aku tertawa kecil begitu melihat tingkah polanya yang lucu ketika dia bisa mencetak angka.
Aku tidak tau kenapa aku terus memandangi Fadika yang sebelumnya tidak pernah aku pedulikan. Tapi sekarang, malah mataku yang selalu mencari di mana dia berada.
Bahkan saat upacara kenaikan bendera, mataku selalu mengintai di mana fadika berbaris.
Sekolah kami memang berbeda, tapi sekolah kami sangat bersahabat. Setiap hari senin, sekolah kami bergantian untuk bertugas menjadi petugas Upacara Bendera. Dan kali ini, sekolahku yang mendapat giliran bertugas. Dan aku bertugas sebagai salah satu paduan suara. Aku berdiri di barisan paling depan.
“Di mana dia?”
Hatiku bertanya di mana Fadika berbaris.
Meskipun mulutku bernyanyi ketika bendera merah putih di naikkan, tapi mataku terus mencari di mana keberadaan Fadika. Dan setelah aku mendapatkannya berbaris di barisan paling belakang, aku tersenyum kecil. Dan mataku kembali ke dirgen paduan suara.
17-an sudah lewat. Tapi aku masih saja suka mengintai cowok cute yang bernama Fadika itu. Mungkin hanya untuk kepuasan, memandangi terus wajahnya yang cute seperti wu zhun itu. Actor Taiwan idolaku.
Dan hari ini, seperti bisa, aku, Lala dan Dhea menghabiskan waktu istirahatku di kantin kesayangan kami. Karena di situ, selalu membuat perut kami kenyang.
“Vina, adek ipar lo tuh!” ujar Dhea saat aku sibuk melahapo baksoku.
“Adek ipar?” aku menaikkan kedua alisku pertanda aku tak mengerti siapa yang di katakana Dhea sebagai adik iparku itu.
“Siapa sih,Dhe’?” Lala sama penasarannya denganku.
“Rama!” ujar Dhea yang tak lagi menjadikan Kakaknya Rama sebagai gebetannya. Jelas saja, wong dia sudah punya Eric.
“Gila lo?” spontan aku memasang wajah yang shock ketika Dhea melemparkan mantan gebetannya padaku.
“Lo gila? Gue kan gak kenal sama Kakaknya. Mana mungkin dia jadi adek ipar gue!” bisikku menyangkal.
Aku takut, Rama mendengarnya. Bisa brabe kalau kedengaran Rama. Entar dia kira gue naksir beneran lagi sama Kakaknya. Wuih, ogah la yaw.
“Alah, iya ajah lah..!” Dhea terus melemparkab ledekan yang sebenarnya tak pantas untukku itu.
“ck.. Lo jangan macem- macem ya? Lagian, yang jadi kakak iparnya itu, seharusnya elo. Bukan gue. Yang ngefans sama Kakaknya, kan cuma elo. KOk malah balik nyerang gue sih?” aku terus menyangkal apa yang di katakana Dhea.
Yang di katakannya itu kan tidak benar. Aku masih punya Kak Dennis di hatiku. Ya, meskipun sekarang aku jarang bertemu dengan Kak Dennis karena dia kos di dekat kampusnya. Tapi bagiku, Kak Dennis takkan tergantikan.
*
MENCURI NOMOR HAPE FADIKA.
Malam ini aku menemani Mama dan Papaku mengunjungi rumah Kakek. Karena bosan, aku memutuskan untuk bermain ke tetangga nenekku yang kebetulan temanku dulu waktu di SD. Dan aku baru ingat kalau Rara juga teman sekelasnya Jojo. Dan juga sekelas dengan Fadika tentunya.
Iseng aku meminjam hape Rara dan melihat- lihat fotonya bersama teman- teman sekelasnya. Terlintas ide nakal di otakku.
Aku membuka phoneebooknya dan mencari nama ‘Fadika’ di antara nama- nama di phonebooknya. Aku memencet huruf ‘F’ di kotak search, dan tak lama aku mendapatkan nama yang kucari. ‘Fadika’. Aku menemukan nama itu beserta nomor HP-nya. Untuk tahap awal, ideku berjalan lancer. Dan aku menjalankan ide selanjutnya. Aku menghidupkan Bluetooth di Hape-nya Rara dan diam- diam aku juga menghidupkan bluetoothku.
Kalau aku langsung menyalinnya, pasti ketauan sama Rara. Dia pasti akan bertanya. Dan untuk menghindar dari pertanyaan yang sudah aku perkirakan, aku terpaksa mem-bluetooth-kannya. Demi misiku untuk mengenal Fadika lebih jauh. Mungkin lewat nomor Hape yang sengaja aku curi dari phonebooknya Rara, aku bisa mengenal si Wu Zhun versiku.
*
Tak perlu bersembunyi dari Lala dan Dhea, aku langsung memberitau kabar kalau aku sudah mempunyai nomor HandPhone-nya Fadika.
Dhea yang dulu lebay setiap kali mendengar sesuatu tentang Fadika, kini bersikap biasa saja.
“Lo naksir ya sama Fadika?” Dhea menghujatku dengan kata- kata itu.
“Enak ajah!” aku terus menyangkal yang sebenarnya benar itu.
“Gak mungkin lo gak suka, lo bela- belain nyopet nomornya di Hape temennya!” Lala juga menghujatku.
“Ayo ngaku?” Dhea menyuruhku mengakuinya.
Aku tak tahan melihat sorotan mata kedua temanku yang begitu tajam memandangku. Tanpa kedip sedikitpun, mereka terus memandangku.
“Iya..iya..gue ngaku.. Iya..” sahutku dengan pipi memerah.
“Vina..” Lala dan Dhea berteriak histeris.
“Maaf, Dhea, aku menyukai gebetanmu. Tapi ini semua gara- gara kalian.” tuduhku.
“Apa maksudmu?” tergambar tanda tanya besar di atas kepala Lala dan Dhea.
“Yak arena kalian gue jadi suka sama Fadika. kalau kalian gak meledekku waktu itu, gue gak akan suka kok sama dia!” ujarku lagi.
“Kapan?”
Tanda tanya itu semakin besar.
“Waktu di kantin. Kalian ngeledekin Rama sebagai adik ipar gue. Makanya gue jadi suka beneran sama Kakaknya!” ujarku lagi.
Aku memang gak tahan kalau di ledekin suka sama seseorang. Pasti aku langsung suka beneran deh.
“Kalian memang menyebalkan!”
Aku malah menyalahkan mereka sebagai penyebab aku menyukai Fadika. Padahal memang iya, merekalah yang membuat aku menyukai Fadika. Meskipun kami berdua tak saling kenal. Tapi aku kenal Jojo, dan semua teman sekelasnya yang lain. Itu udah seperti jalan besar untukku.
Meskipun aku sudah menyimpan nomor Hape Fadika sejak lama. Tapi, aku sama sekali belum menghubungi nomor itu sampai sebulan lamanya. Sekedar miscall, aku juga tidak pernah melakukannya. Aku malu harus mengatakan apa kalau sampai dia menanyakan siapa aku dan darimana aku mendapatkan nomornya.
“Jadi, buat apa? lo punya nomor Hape-nya kalo gak lo gunakan Vin?” Lintang jadi geregetan melihatku yang belum juga menghubungi Fadika.
“Katanya, lo pengen deket sama dia. Nah, itu jalannya, Vin!” tambahnya lagi.
“Ah malu ah, kalau duluan!” ujarku tak memperdulikan kata Lintang.
“Tapi, bagaimana Fadika akan menghubungi lo duluan, kalau kalian gak saling kenal?”
Dalam hatiku, aku setuju dengan perkataan Lintang. Memang benar, keajaiban sekalipun tidak akan membuat Fadika yang pendiam itu menghubungiku.
Lama aku merenungi hal yang baru saja di katakana Lintang. Mungkin tidak barusan, karena dia mengatakan itu 2 hari yang lalu. Dan selama itu pula, aku terus memikirkannya. Apa aku harus mempertahankan gengsiku atau malah lari dari kebiasaan yang selalu cuek dengan cowok.
Sebelumnya, memang aku pernah SMS duluan sama cowok yang aku suka. Tapi cowok itu jarang membalasnya karena dia menganggap sms-ku tak pantas di balas. Kenapa begitu? Ya karena sms-ku hanya berisi lelucon yang ku kirim kepadanya dan tidak membutuhkan balasan. Atau mungkin dia bosen aku sms-in terus.
Jadi, aku trauma dengan semua itu. Aku takut Fadika akan berlaku seperti Kak Dennis. Kak Dennis yang menyebalkan karena tak membalas SMS ku, walaupun cuma sekali.
Dan semakin lama, rasa sukaku pada Kak Dennis agak berkurang. Mungkin perkataan kalau kak Dennis gak akan terganti itu salah. Buktinya, aku menggantikannya dengan yang baru. Memang tidak seratus persen. Tapi Kak Dennis hanya punya saham 25 persen di hatiku sekarang. Terlebih lagi, batang hidungnya tak pernah ku temui. Yang ada di depanku sekarang, hanya Fadika, Fadika, dan Fa-Di-Ka. Ouwh God, what happened?
*
2 hari lagi, Bulan Ramadhan tiba. Aku dan seluruh masyarakat muslim se-dunia pastinya akan melaksakan kewajiban kami sebagai umat ALLAH yang selalu taat kepada-NYA.
Di malam 1 Ramadhan, aku memainkan Handphoneku. Dan terlintas di pikiranku 1 nomor. Nomor Fadika. Dalam hatiku aku memberontak. Untuk apa aku punya nomor Hape Fadika kalau enggak aku hubungi.
Lama aku memikirkannya. Dan sedetik setelahnya, aku memencet tombol hijau di HandPhoneku. Aduh, aku malu sekali. Operator mengingatkanku, bahwa pulsaku tinggal 2 ribu. Untuk tak ada orang lain yang  mendengarnya. Kalau ada, bisa malu diriku.
Setelah operator itu mengakhiri peringatannya, akhirnya aku bisa terhubung dengan Hape Fadika.
Tidak menunggu Fadika menjawabnya, aku langsung memencet tombol merah. Dan panggilanku berakhir.
Sepuluh menit kemudian, aku menerima 1 pesan. Pesan dari orang yang barusan aku miscall, Fa-Di-Ka.
“Cp ne?” begitulah pesan pertama yang di tulisnya untukku.
Aku gugup. Dan hatiku deg- deg- gan. Aku tak menyangka kalau Fadika akan mengirim pesan untukku.
Aku berpikir sejenak. Memikirkan apa yang harus aku katakana padanya.
“Bukan siapa- siapa? Kalo aku sebutkan namaku percuma. Kamu pasti gak kenal sama aku!” itulah kata- kataku. Saking deg- deg-gannya, otakku hanya bisa menulis kalimat itu.
“Ya siapa?” fadika membalasnya.
Mungkin ia begitu penasaran denganku.
Balasannya membuatku semakin gugup harus bilang apa.
“Bukan siapa- siapa! Sorry ya, aku miscall karena nomor kamu tertinggal di Hape aku. Mungkin tadi temenku yang narok nomormu di daftar panggilanku.”
Aduh. Bodohnya. Itu alasan yang sangat kuno. Minta maaf terus berpura- pura ada temen yang miscall dia duluan. Dasar bodoh. Itu semakin membuatku pusing 7 keliling, karena Fadika terus menanyaiku.
“Jadi kamu siapa?” tanyanya lagi.
Aku berpikir. Dasar orang bodoh. Udah di bilang salah pencet, masa masih tanya terus. Dasar Fadika bodoh.
“Namaku Cha-Cha!Km?” akhirnya aku mengaku di depannya. Atau tepatnya di depan ponselku melalui SMS.
Cha-Cha. Bukan nama yang sebenarnya. Tapi ketiga temanku kerap memanggilku seperti itu. Tapi terkadang. Dan hanya mereka bertiga yang memanggilku seperti itu. Cha- Cha.
Baru satu tahun yang lalu, sinetron Kepompong lagi laris- larisnya. Dan aku menganggap, kisah 5 sahabat itu mirip dengan kisahku dan ketiga temanku. Meskipun kami bukan berlima dan tidak ada lelaki di geng kami. Tapi, kami merasa, sikap masing- masing tokoh ceweknya itu, mirip sekali dengan keadaan pertemanan kami. Aku mencocokkan kepribadian 4 wanita di dalam sinetron itu dengan kami berempat.
Aku memang sedikit tomboy. Tidak suka dandan dan selalu slebor. Tidak pernah memperhatikan penampilan. Makanya aku lebih suka di panggil Cha-Cha yang di dalam sinetron sangat tomboy. Si Bebi Kepompong, nyatanya adalah Dhea yang centil. Bebi memang suka lebay kalau liat cowok ganteng. Sama kayak Bebi versi kami.Kalau si jangkung Tasya, aku kasih ke Lintang. Yang memang paling jangkung di antara kami. Sifat mengalahnya juga sama kayak si Tasya. Nah, si Genius Helen, aku anugrahi ke Lala. Yang super aktif di kelas. Menjawab semua soal dari guru. Dan Lala memang yang paling pintar di antara kami.Hanya saja, kami tidak memiliki Indra versi kami. Kalau saja ada, pasti lengkaplah kami seperti De Rainbow beneran. Hehehe.
Meskipun Sinetron itu sudah menamatkan episode panjangnya, tapi nama itu masih melekat pada kami berempat. Nama di hape kami masing- masing juga telah kami ubah. Dari nama asli menjadi nama yang tadi aku sebutkan.Emang narsis sih, tapi untungnya enggak ada seorangpun yang tau kenapa kami menggunakan nama- nama itu. Kecuali, kami berempat. Teeneger yang aneh.
 “Aku ANdre..Rumahmu di mana?” Fadika terus bertanya- tanya padaku.
Dahiku mengernyit begitu tau nama siapa yang ia pake. Padahal aku tau benar, siapa namanya. Nama lengkapnya dan juga tanggal lahirnya.
Tapi aku diam saja. Karena aku masih dalam penyamaran.
“Rumahku, di sekitar- sekitar sini kok.” itu bunyi smsku, setelah aku berpikir dua kali untuk tidak membalas sms Fadika.
“Aku gak percaya kalau namamu Cha- Cha..”
“Kalo ga percaya, ya sudah!” tutupku.
Setelah itu, dia tidak membalas Sms-ku. Dan aku juga tidak meng-sms-nya lagi.
Lega rasanya. Tak lagi berbohong di depan Fadika.
*
“Allahu akbar allahu akbar allahu akbar..” terdengar suara di mesjid memecahkan kesunyian malam. Tepat pukul 3 pagi, mesjid sudah mengumandangkan pujian- pujian untuk sang khalik. Tanda di mulainya bulan penuh berkah ini.
Aku dan keluargaku, bangun pagi-pagi sekali. Untuk makan sahur tentunya. Karena hari ini, hari pertama puasa.
Dengan mata mengantuk, aku menghampiri seluruh anggota keluargaku yang sudah menunggu di meja makan. Mamaku telah menyiapkan semua makanan untuk sahur itu sejak pukul 2.30 malam. Dan aku tidak membantunya, karena Mamaku memang tidak pernah di Bantu memasak makanan sahur.
Setelah sahur, aku bersiap- siap menunggu adzan subuh. Sambil menunggu adzan, aku mengambil handphone ku dan mengucapkan ‘Selamat menunaikan ibadah puasa’ kepada seluruh nomor yang  ada di Phoneebookku.
satu dua orang membalas smsku. Ada yang balik mengucapkan ‘ SElamat Menunaikan Ibadah puasa’, dan ada juga yang mengirimkan smss lucu padaku.
Membaca sms lucu itu, membuatku puny aide untuk mengirimkannya ke Fadika dengan maksud ia akan tertawa juga, sama seperti aku.
Satu pesan terkirim ke Fadika. AKu tidak menunggu balasan darinya. Aku langsung mengambil air wudhu, karena sudah waktunya sholat subuh.
Beberapa menit kemudian aku menyelesaikan sholatku. Aku berniat untuk tidur lagi. Tapi deringan Hape-Ku menggagalkannya.
Aku meraih Hape-Ku dan melihat, siapa yang berani menganggu niatku untuk tidur. Dan ternyata………
“Bagus y. Km pintr bgt ngelucu. Kalo bisa tiap hari aja km sms aku kayak gini.” itu bunyi sms dari Fadika.
Mataku melotot, setelah tau, sms itu dari Fadika. Dan bertambah besar ketika melihat isinya.
“Bener g papa, kalo aku krim tiap hari? Nanti km terganggu lagi!” balasku iseng.
Aku berharap, Fadika tak membalasnya, karena aku sudah mengantuk dan hasratku ingin tidur semakin besar.
Baru saja aku akan memejamkan mata di atas bantal empukku, lagu up town girl dari westlife mengangguku. Itu pertanda, ada sms masuk. Akupun geregetan karena keinginanku di gagalkan lagi.
Aku meraih Hape-ku yang ku letakkan di sebelah bantalku. AKu membuka pesan itu, dan....
“Ya gak mgknla aku terganggu, aku malah seneng bagt. Oh ya, udah sahur kan? Jangan lupa sholat subuh ya. Jangan tidur aja, INGAT... INGAT”
Sms itu membuat bibirku tersungging. Rasa kantukku seketika berkurang. Aku menekan- nekan keyword di hapeku dan menciptakan sebuah kalimat yang terkesan malas..
“Okelah, kalouw begetouw..” pesan itu yang terakhir, sebelum aku tertidur lagi.
Dalam hatiku yang sangat dangkal, aku senang. Dan tak tahan untuk segera menceritakannya pada Lintang besok.
*
Malamnya, tepatnya waktu sholat tarawih, aku menyempatkan bercerita pada Lintang tentang SMS Fadika yang membuatku kesem- sem sampe sekarang.
Lintang ngerespon sesuai yang aku harapkan. Dia malah ikut memberi beberapa informasi tambahan tentang Fadika. Tentu saja itu membuatku bertambah senang.
“Eh, udah mulai. Entar di sambung lagi.!”
Karena sholat terawih rakaat ke 5-6 akan di mulai, Lintang memotong pembicaraan, karena tak ingin ketinggalan sholat terawih.
2 rakaat telah selesai, seluruh jamaah duduk kembali, tanpa terkecuali aku dan Lintang. Dan kami berdua menyambung kembali obrolan yang terputus tadi.
Begitulah seterusnya sampai sholat tarawih yang terakhir. Dan terhenti ketika kami bertadarus. Kami tidak melanjutkannya karena kami harus membaca ayat- ayat suci ALLAH yang tersusun rapi di al-kitab kami, ‘Al-Qur’an.’
Dan cerita itu tidak sampai di hari itu. Tapi terus ke hari berikutnya. Untung saja Lintang tak bosan mendengar ceritaku. AKu memang beruntung mempunyai sahabat yang stand by kapan aja aku butuh.
*
KEBOHONGANKU TERUNGKAP JELAS.
Sampai di penghujung Ramadhan, kami terus ber-sms ria. AKu rasa terlalu lama Fadika tidak mengatahui identitasku. Dan aku terpaksa menjawab semua pertanyaannya dengan seada- adanya. Dan sejujur- jujurnya, ketika ia menanyakannya kembali padaku. Tanpa ada satupun yang tidak terjawab olehku.
“Cha, sebenarnya rumah kamu tuh di mana sih?” tanyanya.
“Kenapa? Emgnya km mau datang?” ledekku sekalian memancing ekspresi apa yang akan ia salurkan melalui sms.
“Iya, aku mau datang! Ya tapi di mana rumah kamu?” tanyanya lagi.
Melihat smsnya itu, bibirku jadi tersungging. Bener- bener percaya ia akan datang ke rumahku.
“Ah,yg bner? Km boong kan? Jangan deh!” sahutku melalui sms.
Lama juga menunggu jawabannya. Mungkin dia memikirkan kata- kata yang pas supaya aku terjebak dengan pertanyaannya.
“Jd? Dmana?”
Ye, dasar Fadika! Nanyanya cuma segitu. Panjangin dikit napa?
“Rumahku di Air Batu Pengkol! tau kan?” ujarku kesal.
Terang saja aku kesal. Smsnya itu sangat menyinggungku. Aku panjang lebar mengetik, giliran menunggu balasannya, udah pendek, lama lagi. Memang menyebalkan.
Sejak sms yang kudapati sangat pendek itu, aku rada- rada jengkel sama Fadika. Terlebih dia tau siapa aku sebenarnya.
Di mana aku tinggal. Di mana aku sekolah. Dan sampai- sampai, nama lengkapku juga aku kasih tau kedia. Tapia pa balasannya.
Saat aku menanyaka balik apa yang Fadika tanyakan padaku, ia malah tak menjawab satupun. Ia masih mempertahankan penyamaran awalnya. Sungguh menyebalkan.
Sejak saat itu, dia tidak pernah sms lagi padaku. Tepatnya sejak Jojo menunjukkan rumahku pada Fadika sewaktu mereka pulang sekolah.
Rumahku memang terletak di dekat sekolah. Dan semua murid sekolahku ataupun sekolah Fadika, akan melewati rumahku dulu, sebelum mereka sampai ke sekolah mereka. Itu juga berlaku buat para guru dan staf- stafnya.
*
Aku tak pernah lagi sms- smsan dengan Fadika. Mungkin aku sudah terlanjur sebal dengan tingkahnya yang tak mau membalas semua pertanyaan yang ku ajukan padanya setelah ia puas mendapatkan semua biodata lengkaku. Memang Fadika menyebalkan.
“Dasar Allien Cungkring!” kata itu begitu saja keluar dari mulutku. Tercettus karena rasa kesalku.
Sikapnya yang begitu dingin padaku, kusamakan dengan sesosok aLLien yang sangat kejam, dan tubuhnya yang kurus kering itu aku tambahkan di belakangnya. Hanya saja Allien Cungkring ku dengan Alien yang ada di planet mars sangat berbeda. Allienku sangat menggemaskan tingkahnya, tapi kalau alien yang asli, menakutkan.Hiii…
Dan sejak saat itu, aku tak pernah lagi menyebutkan nama Fadika di depan Dhea, Lala, atau bahkan Lintang. Dan beruntungnya, nama itu nyangkut terus. Saking kesalnya, aku mengubah nama Fadika menjadi nama yang aku beri padanya ‘Allien Cungkring’ di phonebookku. Bukan hanya karena dia bertubuh cungkring,ataupun tingkahnya yang menggemaskan,  tapi matanya yang menurut allien bagiku memperkuat keinginanku untuk menamakannya seperti itu. Bahkan kelakuannya itu mirip sekali dengan karakter Wu Chun di drama ‘Romantic Princess’. Tentunya sikap saat pertama kali Nang Fang Jin bertemu dengan Xiao Mai. Sangat beringas. Dan tak punya rasa kemanusiaan. Meskipun pada akhirnya mereka saling mencintai. Tapi menurutku, Nang Fang Jin versiku tidak mungkin berbalik menyukaiku. Mungkin dia akan terus nyuekin aku. Karena kami berdua memang tidak saling kenal sebelumnya. Bahkan sampai hari ini. Kami belum pernah berkenalan secara resmi.
*
Lebaran sudah berlangsung selama seminggu. Dan tepat minggu ke dua, aku dan teman- teman SMP-ku mengadakan reunian di rumah April. Teman yang tak lagi satu sekolah denganku.
Bersama Selly dan Betha, yang juga teman SMP-Ku, aku menginap di rumah April untuk menyiapkan seluruh kebutuhan reuni. Kesibukan itu membuatku lupa akan Fadika. Benar- benar lupa, karena aku terlalu sibuk menyiapkan segala sesuatunya untuk Reuni.
Hari yang di tunggu akhirnya datang juga. Tepat jam 10 pagi, seluruh teman SMP-ku sudah memadati rumah April. Dan kami berkumpul.
Sebelum memulai acara, kami saling mengobrol satu sama lain. Melepas kerinduan selama dua tahun ini. Bukan hanya itu saja, kami juga saling sungkem satu sama lain. Tradisi lebaran memang tidak pernah lepas begitu saja.
Tepat pukul 12 siang, semua teman- temanku masuk secara beriringan. Aku di depan pintu sebagai penerima tamu. Menyapa dan barjabat tangan dengan tamu yang juga temanku.
Tapi salah satu temanku, mengingatkanku pada Fadika. Jojo, dia iseng menanyaiku tentang Fadika. Lantaran aku pura-pura tak mengenal Fadika, langsung saja aku mengelak tak pernah mengenal yang namanya Fadika.
“Vina, gue sering baca sms lo di Hapenya Fadika!” tuding Jojo yang semakin membuatku gugup harus menjawab apa.
“Ya ampun Jojo, gue bener- bener gak kenal sama Fadika. Siapa sih dia?” tanyaku pura- pura bingung.
Padahal acara reuni akan di mulai, tapi kami terus berbincang- bincang mengenai Fadika.
“Apa ini yang lo maksud?” aku mengubah nama ‘Allien Cungkring’ menjadi nama Andre dan langsung aku tunjukkan ke Jojo.
“Hhaaahh, ini lah nomornya Fadika!” ujarnya setengah berteriak.
“Hah?” aku pura- pura heran lagi. “Dia temen lo? Gue kira namanya ANdre, jadi dia boong sama gue!”
“Iya, dia itu sering cerita tentang kalian yang sering sms-an.?”
“Masa sih?”
Aku mencoba memancing JOjo supaya mau menceritakan deskripsi Fadika secara jelas.
“Owh, jadi dia orangnya pemalu?” tanyaku begitu mmendengar cerita Jojo tentang Fadika. “Pantasan aja, kalau kemana- mana kalian tuh slalu aja bedua. Udah kayak pasangan ajah!” candaku.
“Ada- ada aja deh lo Vin. Emang gue sama Fadika sejenis!?” Jojo langsung tanggap apa yang aku maksudkan.
“Kali aja Jo..hehehe..” Candaku garing.
“By the way, gimana caranya lo dapet nomor Handphonenya si Fadika?”
Mati gue, pertanyaan itu membuatku mati kutu. Aku gak tau harus menjawab apa. Selama sebulan ini aku terus mencari alasan kenapa aku bisa mendapatkan nomor Fadika. Sekedar berjaga- jaga kalau suatu hari Fadika menanyakannya. Dan ternyata, hal yang aku takutkan datang juga. Bahkan yang lebih parah, aku belum juga menemukan alasanya. Kalau aku mengatakan yang sebenarnya, bisa turun harga diri gue di depan Jojo.
“Itu..Ng..” aku sedikit gugup.
Jojo terus menatapku. Menanti jawaban atas pertanyaannya.
“Gue juga gak tau, JO. nomornya dia tu ada di Hape gue. Y ague miscall dong. Sekedar ingin tau, siapa? Eh, ternyata dia teman lo!” jawaban itu begitu saja mengalir.
Dahi Jojo mengeryit. Menandakan jawabanku tidak masuk akal baginya.
“Oh.. aku tau. Fadika punya adek kan, jo?” tanyaku baru mendapatkan ide yang cemerlang.
“Iya. Namanya Rama, kelas X! memangnya kenapa Vin?” tanyanya.
“Si Rama itu temennya Lintang. Dan Lintang itu temen gue dari kecil!”
“Apa hubungannya?” Jojo tak mengerti apa yang aku maksudkan.
“Mungkin Lintang yang meninggalkan nomornya Fadika di hape gue. Soalnya waktu itu, Lintang pernah pinjem hape gue, katanya dia mau nelpon si Rama. Mungkin si Rama ngasi nomor Handphone-nya Fadika. Soalnya lagi, waktu itu kata Lintang si Rama belum punya Hape..”
Alasan konyol itu cukup meyakinkan Jojo untuk mempercayaiku. Terima Kasih Tuhan.
“Oh, ghitu?” Mungkin apa yang di dengarnya itu agak mengganjal, sampai- sampai mulutnya lamaaaaaa banget membulat.
“Iya.. ghitu. Kalo enggak, mana mungkin gue punya nomor Hapenya.. Gue kan gak kenal sama dia!” lagi- lagi aku berbohong pada Jojo.
“Sorry,lintang. Gue bawa- bawa nama elo di depan Jojo!” ujarku dalam hati. Aku menyesal telah membawa nama Lintang di kasusku. Tapi, begitu pulang dari rumah April, aku akan menceritakan kebohonganku di depan Jojo dan membawa-bawa namanya. Aku rasa, Lintang akan maklum. Lintang kan baik hati dan tidak sombong. (Hehehe).
Obrolan kami terhenti karena acara sudah di mulai. Kami memainkan games, sekedar untuk mengenang masa- masa SMP kami yang indah itu. Tak ada satupun kejadian di SMP dulu yang kami lupakan. Dari MOS, sampai kami berjuang untuk lulus dari Bangku SMP. Sangat menyenangkan ternyata, kalau diingat kembali kenarsisan kami sewaktu di Bangku SMP dulu. Andai saja waktu berputar lambat, mungkin aku dan teman- teman SMP ku masih berada di kantin sambil tegolak- golak menceritakan gimana kelucuan Pak Sofyan sewaktu mengajar, dan bagaimana kekejaman Pak Legimin mengajar kami untuk lebih disiplin lagi. Sungguh indah kenangan menjadi anak badung di SMP.
*
FADIKA MEMBERIKU SUPPORT.
Back to school. Libur panjang lebaran sudah habis. Dan waktunya kami mengasah kembali otak yang sempat kelamaan istirahatnya.
Seperti biasa, kami selalu memberontak ketika Pak Rahmat, guru Penjas kami akan mengajar di dalam kelas. Kami benar- benar tidak ingin belajar Penjas di dalam kelas. Selain suntuk, kami terlalu banyak berpikir di pelajaran kami sebelumnya. Jadi kami ingin meluangkan sedikit ruang di otak kami.
Setibanya di lapangan, seluruh anak lelaki di kelasku tidak bermain bola Volley, mereka malah memperebutkan satu bola dengan kaki mereka. Yup, mereka bermain sepak bola dan kami, anak perempuan, bermain Volley.
Aku dan Dhea memutuskan untuk bergabung dalam satu tim Volley. Hanya saja, aku dan Dhea tidak satu Tim. Kami berdua, saingan. Meskipun kami berdua tidak terlalu mahir dalam permainan itu, bahkan, untuk service saja, kami dong- dongan bisa ngelewati net, tapi di tim masing- masing, kami punya jagoan. Jadi gak perlu takut kena bola. Dan kami berdua juga gak perlu bermain terlalu keras. Biarkan saja si jagoan itu yang bermain, dan kehadiran kami di lapangan itu, toh cuma memperlengkap pemain. Hehehe..
Permainan berlangsung sangat payah. Si jagoan Volley tak bisa mencetak angka karena rekan- rekannya sangat payah. Termasuk aku. Service aja gak bisa, apalagi passing. Selalu aja bolanya melesat. Atau gak, aku mengelak begitu tau bolanya mendekatiku.
“Vina, kok malah lari? Harusnya lo pukul, bukan lari!” protes Tika, jagoan di timku.
“Ups.. Sorry. Kena bola, kan sakit, Ka!” aku ngeles.
Sekolah sebelah pulang lebih awal. Tidak tau kenapa. Tapi sekolah sebelah, emang lebih cepat setengah jam pulangnya daripada sekolahku.
Melihat seluruh siswa SMAN berpulangan, aku menjadi deg- degan. Tentu saja deg- degan. Jojo dan Fadika pasti akan melewati lapangan yang sedang kami pergunakan itu. AKu malu sama Fadika karena kejadian tempo hari itu. Terlebih Jojo pernah nanya nanya padaku tentang kami yang sering sms-an. Bertambah kencang aja nih jantungku berdetak mengingat itu semua.
Kini giliranku menyervise bola. Aku semakin deg- degan. Bagaimana tidak. Jojo dan Fadika malah menonton pertandingan kami yang payah itu. Aku malu kalau aku gak bisa service. Entar apa yang di katakana Jojo dan Fadika. Uuuhh, aku benar- benar nervous.
Akhirnya, dengan penuh percaya diri, aku memukul bola itu dengan segenap tenaga yang aku punya. Dan... Yes! Aku berhasil membuat bola itu melewati net. Dan aku mencetak angka.
Fadika semakin membuatku nervous. Terlebih lagi, seluruh teman sekelasku, meledekku karena Fadika melihat pertandinganku. Uuuh, aku benar- benar malu. Dan aku juga tak sanggup menatap ekspresi yang tergambar di wajah cute Fadika. Apakah dia tersenyum, atau malah marah karena semua ejekan teman- temanku itu agak menyinggung ke dia.
Untuk menyembunyikan nervousku, aku berusaha focus pada pertandingaku yang sebenarnya payah itu. Tapi bonusnya adalah, aku berhasil mengejar angka sampai 12 sejak Fadika menonton pertandinganku. AKu gak tau, kenapa aku yang payah dalam service, begitu saja bisa mengejar angka sampai 12. Its so amazing to me!
“Cie..Vina.. hebat bener servicenya!” Lala yang hanya menonton juga ikutan meledekku.
“Vina.. jadi semnagat nie gara- gara di liat si Cungkring..”
“Ih.. apaan sih kalian..?”
Aduh Dhea! kenapa dia menyebutkan nama cungkring di depan Fadika. AKu malu sekali. Rasanya aku ingin menutupi seluruh wajahku.
Aku berharap waktu berputar sangat lambat. Jadi aku bisa semangat terus diliatin sama Fadika. Atau tepatnya, Allien Cungkring-ku. Tapi harapanku tidak berjalan mulus. Pertandingan belum selesai, tapi pengurus TU sudah membunyikan bel pulang.
Hari ini benar- benar hari yang indah untukku. Bagaimana tidak, itu kali pertama untukku ada seorang cowok yang aku suka mensupportku, meskipun ia tidak menyadarinya.
“Vin, lo itu seharusnya seneng. Karena sepanjang pertandingan lo, Fadika itu ngeliat lo terus!” ujar Lala setelah kami mengambil tas masing- masing dan kami bertiga berjalan menunggu angkutan umum.
“Mana mungkin!”
“Ya ampun Vin. Aku itu liat.. si Cungkring itu ngeliat lo terus.. Malah dia senyum- senyum!” Lala tetap pada pendiriannya dan berusaha meyakinkanku.
“Yang bener lo?” bibirku tersungging dan berharap ada hal yang lebih terjadi di lapangan itu.
“Ya iyalah, Vin. Masa gue boong! Lo sih gak mau liat dia!”
“GUe takut kali liat dia!” ujarku.
“Takut kenapa lo? Takut di lahap? Emang dia Allien beneran?” senda Dhea.
“Iya.. Gara- gara lo sih, nyebut- nyebut nama Cungkring di depan dia.. Gue kan jadi malu...!” aku mengungkapkan kejengkelanku terhadap Dhea karena dia melakukan hal yang tidak ku inginkan.
“Memangnya dia tau, Cungkring itu siapa? Enggak kan? Jadi lo santay ajah..! Emangnya, yang cungring cuma dia ajah? Banyak tauh...”
“Eh, lo sadar gak? Waktu lo nyebutin nama Cungkring, lo itu ngeliat ke dia. Jadi pasti dia ngerasa..!”
“Ya gak papa dong kalo dia ngerasa. Malah bagus! Biar lo cepat- cepat di tembak sama dia!” Dhea berusaha keras mencuci tangan- nya.
“Iya kalo iya. Kalo dia malah ilfeel sama gue gimana, tanggung jawab ya lo!” tekanku sambil menunjuknya.
“Iya..iya.. gue salah.. Gue minta maaf deh..!” ujar Dhea mengalah.
“Awas ya lo, nyebut- nyebut nama Cungkring pas ada dia..!! Gue kutuk lo jadi centong..!”
“Ampun boss..”
Sepertinya kejengkelanku dengan Fadika malah berubah menjadi rasa yang dulu juga ada. Aku kembali menyukai Fadika. Tapi belum juga berani bilang ke Fadika kalu gue suka dia.
*
WAKTU GAK BISA DI PUTAR KE BELAKANG.
Seandainya waktu berputar lambat, mungkin ada banyak lagi kisah- kisah yang menyenangkan tentang aku dan si Cungkring. Sayangnya waktu sudah berputar cepat dan gak bisa di putar kebelakang.
Aku lulus tanpa kepastian tentang perasaanku. Apakah terbalas atau malah bertepuk sebelah tangan. Aku benar- benar menyesal karena gak berani jujur.
Tapi satu hal yang membuatku semakin suka padanya. Sehari sebelum hari ulang tahunku ke-18, Fadika membuatku terharu. Ia mengirim pesan melalui account facebook-ku. Dia orang pertama yang menulis ‘Met Ultah ya..” di dindingku. Meskipun kata- katanya cuma se-encrit alias dikit banget, tapi itu sesuatu yang wow untukku. Seorang Fadika yang di kenal pemalu di kalangan masyarakat, berani menyelamatiku. Meskipun cuma di Facebook.
*
Waktu terus berjalan, dan aku tidak pernah lagi bertemu dengan Fadika di dunia nyata. Aku hanya melihat status- statusnya di Facebook. Dan sesekali aku memberikannya komentar tentang apa yang ia tulis.
Seandainya aku bisa jujur ke dia, pasti aku tidak akan pernah menanggung beban berat di hatiku. Hal itu menjadi pelajaran bagiku. Meskipun pahit ataupun memalukan, kejujuran pastilah yang terbaik.
Dan jika suatu hari nanti aku bertemu dengan orang yang aku sebut dengan sebutan‘ Allien Cungkring’, aku akan mengatakan apa yang membuatku nekat mencuri nomor Hapenya dan berharap dia membalas semua perasaanku. I Hope That so...
** SEKIAN **

Nah, sudah pada baca kan? Bagaimana? Sudah menemukan perbedaannya sendiri?
Waaahh, masih berantakan yah Allien cungkring yang ini? Padahal udah di revisi lho. Hihihi..
Xie Xie :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan malu- malu untuk berkomentar. Silahkan berikan komentar terbaik anda ^_^ Xie Xie Ni