DON’T LET ME..
EPISODE 5
LOOKING THE FUTURE
Dengan
memandang ke depan, lo nggak akan pernah menyesal nantinya!
Seharusnya pagi ini Raja bisa bersantai dan
beristirahat dengan tenang. Setelah first
job yang melelahkan karena harus di-double
sama pukulan dari Caca, alangkah baiknya jika waktu yang senggang ini ia
pergunakan untuk berleha- leha di kosan. Terlebih hari ini tidak ada satupun
mata kuliah yang mengharuskan Raja untuk bangun pagi.
PERMISIII! NENG CACAAA…
Suara di luar kamar membuat Raja terbangun. Raja tidak
akan bisa tidur jikalau masih ada suara yang berulang kali di dengarnya,
meskipun suara itu tak memanggil dirinya. Hal itulah yang terjadi sekarang ini.
Entah siapa yang memanggili penghuni kamar sebelah, sampai- sampai Raja tak
bisa memejamkan matanya lagi.
CTEEKK!
Samar- samar Raja melihat lelaki separuh baya berdiri
di depan kamar no 6 sambil memanggili nama penghuninya. Mungkin karena baru
saja bangun, nyawanya pun belum berkumpul secara sempurna, sehingga Raja kurang
jelas melihat sosok lelaki itu. Raja mengucek matanya berulang kali supaya
lebih jelas lagi melihatnya. Bibirnya membulat setelah dengan jelas melihat
siapa lelaki separuh baya itu.
Pak Pos.
Pasti Caca masih tidur. Pukul 8.05 WIB, mana mungkin
Caca bangun sepagi ini. Bisa- bisa badai akan menimpa kos- kosan kalau Caca
bangun di jam sepagi ini. Ya, jam 8 lewat 5 masih terlalu pagi buat seorang
yang suka membolak- balikkan malam
menjadi siang, dan siang menjadi malam.
“Penghuninya masih tidur kali, Pak!” ujar Raja kepada
Pak Pos itu.
Pak Pos itu melirik Raja, lalu menghampiri Raja untuk
menitipkan barang bawaannya.
“Ini untuk Caca, Pak?”
Pak Pos tak segera menjawab. Ada nada sendu di raut
wajahnya. Raja mulai bingung, kenapa Pak Pos itu yang sedih? Memangnya ada apa?
“Sebenarnya Bapak nggak tega menyerahkan amplop ini
kepada Caca.” Ujar Pak Pos itu lirih.
Kening Raja berkerut. Memangnya kenapa? Apa yang ada
diamplop besar ini sampai- sampai Pak Pos itu nggak tega?
Raja membolak- balik amplop besar berwarna kuning itu,
dan berulang kali bertaya- tanya pada hatinya, kira- kira apa yang ada di
dalamnya.
“Memangnya ini apa, Pak?” tanya Raja untuk mengurangi
rasa penasarannya.
“Itu naskah yang di kirim Neng Caca 4 bulan lalu.”
Raja membulatkan bibirnya hingga membentuk huruf O. Raja
mengerti, setiap hari Caca ke kantor pos untuk mengirimkan paket yang serupa dengan
paket yang ia pegang sekarang ini.
“Sebenarnya Bapak nggak tega langsung memberinya pada
Neng Caca.”
“Memangnya kenapa, Pak?”
Pak Pos tertunduk, lalu menarik nafasnya, dan sekarang
ia siap untuk bercerita. “Berulang kali Neng Caca mengirim paket yang sama, dan
beberapa bulan kemudian paket itu kembali lagi ke tangannya. Bapak prihatin,
kasihan lihat mimik kecewanya. Nggak tega liatnya, Nak.” Ujar Pak Pos itu masih
dengan mimik wajah yang sama.
“Bapak tau ini isinya apa?”
Pak Pos menangguk cepat. “Ya! Naskah yang
dikembalikan, berarti di tolak penerbit. Itu berarti Neng Caca masih belum bisa
menggapai impiannya.”
Dari nada bicaranya, sepertinya Pak Pos mengerti bagaimana
caca. Mungkin Caca sering curhat pada Pak Pos ini. Mungkin saja iya.
“Syukurlah Bapak nggak perlu melihat wajah kecewanya.”
Pak Pos itu mendesah lega. “Sampaikan ini pada Neng Caca ya, Nak. Hibur dia
supaya nggak pantang menyerah.” Pak Pos menepuk pundak Raja. Seakan memberi
isyarat untuk meneruskan perjuangannya menghibur Caca yang sudah kesekian
kalinya menerima penolakan dari penerbit.
Raja tertegun. Bahkan sampai Pak Pos itu keluar dari
kosan, Raja belum berhenti memandangi amplop besar berwarna cokelat yang ada di
tangannya sekarang ini.
CTEEKK!!
Raja tersentak. Dilihatnya penghuni sebelah keluar
kamar sembari mengibas- kibaskan rambutnya yang basah dengan handuk.
WHAT?
Caca sudah bangun?
Raja belum juga percaya kalau yang dilihatnya barusan
adalah Caca sang gadis zombie yang menganggap siang adalah malam dan malam
adalah siang.
Lalu sekarang apa?
Apakah si zombie girl sudah insyaf dan benar- benar
bisa membedakan kapan siang dan kapan malam?
“Kenapa, Raj?” tegur Caca yang mulai risih dengan
pandangan kosong Raja.
Raja kembali tersentak. Ia juga menyembunyikan amplop
besar berwarna cokelat yang sedari tadi ia pegang ke balik badannya. Rasanya ia
juga belum siap melihat wajah kecewa Caca untuk yang pertama kalinya. Perlahan,
Raja menjatuhkan amplop besar berwarna cokelat itu ke dalam kamarnya dan
membuat seolah- olah tak ada yang datang dan memberikannya.
“Nggak kenapa-kenapa. Gue cuma heran aja, beneran ini
Caca si zombie girl?”
“Gue ini manusia Raj, bukan zombie!”
“Tapi biasanya
lo nggak pernah bangun sepagi ini. Malam adalah siang, siang adalah
malam. semoga setelah ini nggak akan ada badai yang melanda kosan Tante Farah.
Bisa rugi besar dia.”
Caca tak segera menjawab. Digelengkannya terlebih
dahulu kepalanya berulang kali lalu tersenyum untuk menjawab keheranan Raja.
“Sesekali boleh kan, Raj? Ternyata bangun pagi itu
enak! Dan gue jamin, nggak akan ada badai topan datang ke kosan deh. Udah gue
pawangin tadi.” ujarnya masih dengan senyum yang tadi. Lalu tangannya kembali
mengeringkan rambut basahnya.
“Dukun kali, pakai pawang segala. Hahaha..”
Caca membalas tertawa lepas itu dengan senyum tipisnya
lagi. Entah karena nggak lucu atau jaga image, Caca hanya tersenyum kecil
sambil terus mengusek- usek rambutnya yang masih basah.
“Oh iya, tadi gue sempet denger ada orang yang
manggilin gue. Lo tau nggak?”
OOPPSS!!
Raja bingung. Jawab atau nggak? Tiba- tiba migran
menyerang Raja. Masalahnya jawaban dari pertanyaan Caca tak sesederhana
pertanyaannya.
“Lo liat ada orang yang manggil gue nggak, Raj?”
Raja mengangkat kedua bahunya.
“Ooo. Berarti gue salah dengar. Gue kira ada Pak Pos,
ternyata bukan!”
“Gue.. gue dari tadi di sini nggak liat siapa- siapa
kok!”
“Oh ya udah, nggak apa- apa kok Raj. Gue masuk dulu
ya!”
Raja tak menjawab, tapi anggukan kepalanya saja sudah
cukup untuk mewakili suaranya.
Caca berbalik dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Mungkin
sedikit ingin rapi- rapi di dalam kamarnya.
Raja menyusul beberapa menit setelah Caca masuk. Raja
mengambil kembali amplop besar berwarna cokelat yang tadi dititipkan Pak Pos
padanya. Rasa bersalah pun muncul ketika Raja terlanjur menyobek amplop itu.
“Gue harap gue bisa ngelakuin sesuatu buat lo, Ca!”
**
“Lo mau ke mana?”
Caca menengok dan berhenti menggowes sepedanya.
“Mau jalan- jalan sebentar.” Sahutnya singkat.
“Ikut gue aja yuk!” tawar Raja.
Seharian nggak ke mana- mana memang kurang asyik, tapi
lebih nggak asyik lagi kalau keluar kosan tanpa teman.
“Memangnya lo mau ke mana?”
Raja tak langsung menjawab. sebenarnya dia juga
bingung mau ke mana hari ini.
“Gue juga bingung sih mau ke mana? Lo ada ide nggak?”
“Lho kok, tanya gue?” Ujar Caca disusul kerutan di
keningnya.
Ya heran lah! Tadi sok- sokan ngajakin jalan, tapi
nggak tau mau jalan ke mana?
“Ya udah, yuk temenin gue jalan- jalan ke mall!”
Caca diam. Ke mall. Ide bagus. Ide bagus untuk sekedar
jalan- jalan atau hunting buku, pikir Caca.
Caca membelokkan setang sepedanya. Setelah
mengembalikan sepedanya ke halaman kosan, Caca masuk ke dalam mobilnya Raja dan
duduk di sebelah supir. Di sebelah Raja maksudnya.
“Emang lo nggak syuting, Raj?” tanya Caca membuka
obrolan selama diperjalanan. Nggak asyik kan kalau di sepanjang perjalanan cuma
diam- diaman. Entar yang ada Raja malah ngantuk, jadi lebih baik diajak ngobrol
saja.
“Gue kan belum jadi artis, Ca. Jadi, gue nggak syuting
setiap hari.” Ungkapnya.
Caca
menganggukkan kepalanya. Ya, memang benar dikatakan Raja. Seharusnya
Caca sudah tau. Atau mungkin Caca hanya berbasa- basi semata?
“Ca, gue boleh nanya nggak?”
Pertanyaan Raja barusan disambut dengan kerutan
dikening Caca. Mau nanya kok minta izin dulu?
“Ya boleh dong, Raj! Mau nanya kok minta izin dulu,
sih?”
Caca melempar senyum tipisnya kembali ke Raja.
Dirasanya memang aneh Raja hari ini. Kira- kira kenapa yah? Apa sih yang mau
ditanyain sampai- sampai harus minta izin dulu?
“Lo kenapa nggak kuliah?”
Caca menutup rapat bibirnya. Pertanyaan Raja sempat
membuatnya teringat sesuatu.
Sesuatu apa?
“Gue bingung mau ambil jurusan apa!” ujarnya datar
dengan pandangan yang tetap lurus ke depan jalanan.
“Kok bingung? Seharusnya lo ambil sastra dong!” kata
Raja lagi.
Caca tak segera menjawab, pandangannya tetap ke
jalanan dan desahan mulai terdengar dari bibirnya.
Raja masih kosentrasi menyetir, namun sesekali ia
melihat Caca yang belum juga menjawab sarannya tadi.
“Sebenarnya keluarga gue, nggak ngizini gue jadi
penulis. Kata mereka, penulis itu nggak punya masa depan! Mereka ingin gue
kuliah jurusan seperti lo, Raj! Dan setelah lulus nanti, mereka ingin gue
ngelanjutin teater yang turun temurun di kelola keluarga gue.”
CIITT!!
Raja menginjak rem. Tercengang mendengar penuturan
Caca barusan. Sebenarnya ia juga tersinggung sewaktu Caca menuturkan penulis
nggak punya masa depan, karena di dalam darahnya mengalir darah seorang
penulis. Jelas ia sedikit tersinggung mendengarnya.
“Nggak ada satupun profesi di dunia ini yang nggak
punya masa depan, Ca. Apa keluarga lo nggak tahu berapa penghasilan JK Rowling?
Haah?” tampaknya Raja mulai kesal.
“Itukan JK Rowling Raj, bukan gue.” Kata Caca diikuti
dengan desahan pelan. Wajahnya kelihatan layu. Mungkinkah ia mulai putus asa.
“Sebelum jadi yang sekarang ini, JK Rowling juga
mengalami hal yang sama. Di tolak, dan diremehkan banyak orang termasuk
keluarganya sendiri. Tapi keyakinannya cukup kuat, dan itu berhasil membawanya
sampai sekarang ini.”
“Keluarga gue nggak akan mau mengerti itu, Raj. Itulah
sebabnya kenapa gue nekat kos di Jakarta. Mungkin dengan begini gue nggak akan
mendengar mereka ngebanding- bandingin hobi gue dengan obsesi mereka. Gue juga ingin
ngebuktiin kalau penulis itu nggak seperti yang ada dalam pikiran mereka. Dan
terpaksa gue bohongi mereka semua.” nada bicaranya lemah. Seperti baru saja
melakukan sesuatu yang fatal lalu menyesalinya.
“Bohong?”
“Yang mereka tau gue kuliah!” jawabnya singkat.
Raja tertegun. Kali ini Raja kurang setuju dengan
tindakan Caca. Mungkin memang alasannya cukup kuat, namun hal ini benar- benar
salah.
“Ca, lo tau nggak kalau yang lo lakuin ini salah? Oke
kalau memang alasan lo cukup kuat, tapi tetap lo nggak boleh bohongi mereka terus.”
Caca diam. Ia hanya menatap kedua bola mata Raja yang
teduh. Bola mata yang semakin lama membuat dirinya nyaman.
“Pendidikan itu penting, Ca. Dan kalau misalnya lo
nggak mau kuliah, lo harus bilang ke mereka. Lo juga nggak boleh bohong terus,
Ca. Pandanglah ke depan! Dengan memandang ke depan, lo nggak akan pernah
menyesal nantinya!”
Caca diam untuk beberapa saat. Mungkin ia sedang
menyesali perbuatannya. Mungkin caca juga sudah mengerti apa yang ia lakukan
selama ini salah, dan yang dikatakan Raja adalah benar.
“Tapi semuanya sudah terlambat.”
“Nggak ada kata terlambat, Ca. Lo masih punya waktu
kok buat mikirin ini semua dan ngalakuin yang seharusnya lo lakuin sejak lama.”
Raja menatap lekat kedua bola mata Caca yang indah. Indah akan kesederhanaannya.
“Gue akan pikirin itu, nanti!”
Raja menginjak gas tanpa persetujuan Caca. Ia kembali
melajukan mobilnya ke tempat tujuan.
**
Setelah lama berkutat di mall tanpa tujuan yang jelas,
Caca mengajak Raja masuk ke toko buku. Yah daripada masuk mall sia- sia nggak
ngapa-ngapain, mendingan hunting buku kan? Lumayanlah buat referensi, pikir
Caca.
“Lo suka genre apa, Raj?” tanya Caca ketika mereka
sampai ke rak yang berlabelkan novel.
“Fantasy! Kalau lo?”
Caca tak langsung menjawab pertanyaan Raja. Ia hanya
mengumbar senyum tipis, namun cukup menawan.
“Biar gue tebak! Lo suka genre yang romantis kan?”
“Yup! Romantic dan yang bikin terharu.”
“Ketahuan kok dari mata lo?”
Caca menyipitkan matanya. Masa sih? Emang matanya bisa
ngomong? Ngomong apaan?
“Masa sih? Emangnya mata gue bilang apa?”
Raja menggelengkan kepalanya. “Nggak kok. Gue kan cuma
nebak aja.”
“Nggak mesti romantis dan happy ending juga sih.
Terkadang gue juga suka baca yang genre horor, fantasy, tapi terkadang aja.
Hehehe..”
Bibir Raja membulat. Ia mengerti dan sempat
mempelajarinya sedikit dari Mamanya. Sangat mudah untuk menebak bacaan kesukaan
seseorang. Kita bisa melihat binar dari matanya, dan prilakunya sehari- hari.
“Ternyata berguna juga apa yang dibilang nyokap gue.” Raja tersenyum kecil dan
nggak sadar kalau Caca sudah tak ada lagi di hadapannya.
“Yah, ke mana sih Caca? Baru ditinggal ngelamun bentar
udah ngilang! Punya keturunan jin kali ya?” Raja menggaruk- garuk kepalanya
sambil terus berjalan mencari Caca. “Ca, jangan bikin gue setress kayak Ayu
Ting Ting, dong!”
Ke mana.. ke mana.. ke mana..
TO BE
CONTINUED…
**
Oleh : Vivie
Hardika SS..
Jangan lupa tinggalkan kritik dan saran yah! Ke Hardika_cungkring@yahoo.com
juga boleh kok. Apalagi ke akun facebook aku ‘Vivie Hardika Cungkring’. Tapi
ingat, nggak boleh Copas.. Oke..
Xie xie Ni J
tarek maaaannnggggg,,,,
BalasHapusApanya yang ditare neng?
BalasHapuskemana kemana kemana,,, :D :D
BalasHapuskeren..... semangt ya vi... nulisnya..... allahu akbar...
BalasHapussemangat....
BalasHapusHehehe.. Tararengkyu Jandi Gun :)
HapusLanjutkan, aku masih nulis
BalasHapusOke deh yu :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus