Minggu, 29 Januari 2012

DON'T LET ME - EPISODE 5

DON’T LET ME..



EPISODE 5
LOOKING THE  FUTURE

            Dengan memandang ke depan, lo nggak akan pernah menyesal nantinya!


Seharusnya pagi ini Raja bisa bersantai dan beristirahat dengan tenang. Setelah first job yang melelahkan karena harus di-double sama pukulan dari Caca, alangkah baiknya jika waktu yang senggang ini ia pergunakan untuk berleha- leha di kosan. Terlebih hari ini tidak ada satupun mata kuliah yang mengharuskan Raja untuk bangun pagi.
PERMISIII! NENG CACAAA…
Suara di luar kamar membuat Raja terbangun. Raja tidak akan bisa tidur jikalau masih ada suara yang berulang kali di dengarnya, meskipun suara itu tak memanggil dirinya. Hal itulah yang terjadi sekarang ini. Entah siapa yang memanggili penghuni kamar sebelah, sampai- sampai Raja tak bisa memejamkan matanya lagi.
CTEEKK!
Samar- samar Raja melihat lelaki separuh baya berdiri di depan kamar no 6 sambil memanggili nama penghuninya. Mungkin karena baru saja bangun, nyawanya pun belum berkumpul secara sempurna, sehingga Raja kurang jelas melihat sosok lelaki itu. Raja mengucek matanya berulang kali supaya lebih jelas lagi melihatnya. Bibirnya membulat setelah dengan jelas melihat siapa lelaki separuh baya itu.
Pak Pos.
Pasti Caca masih tidur. Pukul 8.05 WIB, mana mungkin Caca bangun sepagi ini. Bisa- bisa badai akan menimpa kos- kosan kalau Caca bangun di jam sepagi ini. Ya, jam 8 lewat 5 masih terlalu pagi buat seorang yang suka membolak- balikkan  malam menjadi siang, dan siang menjadi malam.
“Penghuninya masih tidur kali, Pak!” ujar Raja kepada Pak Pos itu.
Pak Pos itu melirik Raja, lalu menghampiri Raja untuk menitipkan barang bawaannya.
“Ini untuk Caca, Pak?”
Pak Pos tak segera menjawab. Ada nada sendu di raut wajahnya. Raja mulai bingung, kenapa Pak Pos itu yang sedih? Memangnya ada apa?
“Sebenarnya Bapak nggak tega menyerahkan amplop ini kepada Caca.” Ujar Pak Pos itu lirih.
Kening Raja berkerut. Memangnya kenapa? Apa yang ada diamplop besar ini sampai- sampai Pak Pos itu nggak tega?
Raja membolak- balik amplop besar berwarna kuning itu, dan berulang kali bertaya- tanya pada hatinya, kira- kira apa yang ada di dalamnya.
“Memangnya ini apa, Pak?” tanya Raja untuk mengurangi rasa penasarannya.
“Itu naskah yang di kirim Neng Caca 4 bulan lalu.”
Raja membulatkan bibirnya hingga membentuk huruf O. Raja mengerti, setiap hari Caca ke kantor pos untuk mengirimkan paket yang serupa dengan paket yang ia pegang sekarang ini.
“Sebenarnya Bapak nggak tega langsung memberinya pada Neng Caca.”
“Memangnya kenapa, Pak?”


Pak Pos tertunduk, lalu menarik nafasnya, dan sekarang ia siap untuk bercerita. “Berulang kali Neng Caca mengirim paket yang sama, dan beberapa bulan kemudian paket itu kembali lagi ke tangannya. Bapak prihatin, kasihan lihat mimik kecewanya. Nggak tega liatnya, Nak.” Ujar Pak Pos itu masih dengan mimik wajah yang sama.
“Bapak tau ini isinya apa?”
Pak Pos menangguk cepat. “Ya! Naskah yang dikembalikan, berarti di tolak penerbit. Itu berarti Neng Caca masih belum bisa menggapai impiannya.”
Dari nada bicaranya, sepertinya Pak Pos mengerti bagaimana caca. Mungkin Caca sering curhat pada Pak Pos ini. Mungkin saja iya.
“Syukurlah Bapak nggak perlu melihat wajah kecewanya.” Pak Pos itu mendesah lega. “Sampaikan ini pada Neng Caca ya, Nak. Hibur dia supaya nggak pantang menyerah.” Pak Pos menepuk pundak Raja. Seakan memberi isyarat untuk meneruskan perjuangannya menghibur Caca yang sudah kesekian kalinya menerima penolakan dari penerbit.
Raja tertegun. Bahkan sampai Pak Pos itu keluar dari kosan, Raja belum berhenti memandangi amplop besar berwarna cokelat yang ada di tangannya sekarang ini.
CTEEKK!!
Raja tersentak. Dilihatnya penghuni sebelah keluar kamar sembari mengibas- kibaskan rambutnya yang basah dengan handuk.
WHAT?
Caca sudah bangun?
Raja belum juga percaya kalau yang dilihatnya barusan adalah Caca sang gadis zombie yang menganggap siang adalah malam dan malam adalah siang.
Lalu sekarang apa?
Apakah si zombie girl sudah insyaf dan benar- benar bisa membedakan kapan siang dan kapan malam?
“Kenapa, Raj?” tegur Caca yang mulai risih dengan pandangan kosong Raja.
Raja kembali tersentak. Ia juga menyembunyikan amplop besar berwarna cokelat yang sedari tadi ia pegang ke balik badannya. Rasanya ia juga belum siap melihat wajah kecewa Caca untuk yang pertama kalinya. Perlahan, Raja menjatuhkan amplop besar berwarna cokelat itu ke dalam kamarnya dan membuat seolah- olah tak ada yang datang dan memberikannya.
“Nggak kenapa-kenapa. Gue cuma heran aja, beneran ini Caca si zombie girl?”
“Gue ini manusia Raj, bukan zombie!”
“Tapi biasanya  lo nggak pernah bangun sepagi ini. Malam adalah siang, siang adalah malam. semoga setelah ini nggak akan ada badai yang melanda kosan Tante Farah. Bisa rugi besar dia.”
Caca tak segera menjawab. Digelengkannya terlebih dahulu kepalanya berulang kali lalu tersenyum untuk menjawab keheranan Raja.
“Sesekali boleh kan, Raj? Ternyata bangun pagi itu enak! Dan gue jamin, nggak akan ada badai topan datang ke kosan deh. Udah gue pawangin tadi.” ujarnya masih dengan senyum yang tadi. Lalu tangannya kembali mengeringkan rambut basahnya.
“Dukun kali, pakai pawang segala. Hahaha..”
Caca membalas tertawa lepas itu dengan senyum tipisnya lagi. Entah karena nggak lucu atau jaga image, Caca hanya tersenyum kecil sambil terus mengusek- usek rambutnya yang masih basah.
“Oh iya, tadi gue sempet denger ada orang yang manggilin gue. Lo tau nggak?”
OOPPSS!!
Raja bingung. Jawab atau nggak? Tiba- tiba migran menyerang Raja. Masalahnya jawaban dari pertanyaan Caca tak sesederhana pertanyaannya.
“Lo liat ada orang yang manggil gue nggak, Raj?”
Raja mengangkat kedua bahunya.
“Ooo. Berarti gue salah dengar. Gue kira ada Pak Pos, ternyata bukan!”
“Gue.. gue dari tadi di sini nggak liat siapa- siapa kok!”
“Oh ya udah, nggak apa- apa kok Raj. Gue masuk dulu ya!”
Raja tak menjawab, tapi anggukan kepalanya saja sudah cukup untuk mewakili suaranya.
Caca berbalik dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Mungkin sedikit ingin rapi- rapi di dalam kamarnya.
Raja menyusul beberapa menit setelah Caca masuk. Raja mengambil kembali amplop besar berwarna cokelat yang tadi dititipkan Pak Pos padanya. Rasa bersalah pun muncul ketika Raja terlanjur menyobek amplop itu.
“Gue harap gue bisa ngelakuin sesuatu buat lo, Ca!”
**

“Lo mau ke mana?”
Caca menengok dan berhenti menggowes sepedanya.
“Mau jalan- jalan sebentar.” Sahutnya singkat.
“Ikut gue aja yuk!” tawar Raja.
Seharian nggak ke mana- mana memang kurang asyik, tapi lebih nggak asyik lagi kalau keluar kosan tanpa teman.
“Memangnya lo mau ke mana?”
Raja tak langsung menjawab. sebenarnya dia juga bingung mau ke mana hari ini.
“Gue juga bingung sih mau ke mana? Lo ada ide nggak?”
“Lho kok, tanya gue?” Ujar Caca disusul kerutan di keningnya.
Ya heran lah! Tadi sok- sokan ngajakin jalan, tapi nggak tau mau jalan ke mana?
“Ya udah, yuk temenin gue jalan- jalan ke mall!”
Caca diam. Ke mall. Ide bagus. Ide bagus untuk sekedar jalan- jalan atau hunting buku, pikir Caca.
Caca membelokkan setang sepedanya. Setelah mengembalikan sepedanya ke halaman kosan, Caca masuk ke dalam mobilnya Raja dan duduk di sebelah supir. Di sebelah Raja maksudnya.
“Emang lo nggak syuting, Raj?” tanya Caca membuka obrolan selama diperjalanan. Nggak asyik kan kalau di sepanjang perjalanan cuma diam- diaman. Entar yang ada Raja malah ngantuk, jadi lebih baik diajak ngobrol saja.
“Gue kan belum jadi artis, Ca. Jadi, gue nggak syuting setiap hari.” Ungkapnya.
Caca  menganggukkan kepalanya. Ya, memang benar dikatakan Raja. Seharusnya Caca sudah tau. Atau mungkin Caca hanya berbasa- basi semata?
“Ca, gue boleh nanya nggak?”
Pertanyaan Raja barusan disambut dengan kerutan dikening Caca. Mau nanya kok minta izin dulu?
“Ya boleh dong, Raj! Mau nanya kok minta izin dulu, sih?”
Caca melempar senyum tipisnya kembali ke Raja. Dirasanya memang aneh Raja hari ini. Kira- kira kenapa yah? Apa sih yang mau ditanyain sampai- sampai harus minta izin dulu?
“Lo kenapa nggak kuliah?”
Caca menutup rapat bibirnya. Pertanyaan Raja sempat membuatnya teringat sesuatu.
Sesuatu apa?
“Gue bingung mau ambil jurusan apa!” ujarnya datar dengan pandangan yang tetap lurus ke depan jalanan.
“Kok bingung? Seharusnya lo ambil sastra dong!” kata Raja lagi.
Caca tak segera menjawab, pandangannya tetap ke jalanan dan desahan mulai terdengar dari bibirnya.
Raja masih kosentrasi menyetir, namun sesekali ia melihat Caca yang belum juga menjawab sarannya tadi.
“Sebenarnya keluarga gue, nggak ngizini gue jadi penulis. Kata mereka, penulis itu nggak punya masa depan! Mereka ingin gue kuliah jurusan seperti lo, Raj! Dan setelah lulus nanti, mereka ingin gue ngelanjutin teater yang turun temurun di kelola keluarga gue.”
CIITT!!
Raja menginjak rem. Tercengang mendengar penuturan Caca barusan. Sebenarnya ia juga tersinggung sewaktu Caca menuturkan penulis nggak punya masa depan, karena di dalam darahnya mengalir darah seorang penulis. Jelas ia sedikit tersinggung mendengarnya.
“Nggak ada satupun profesi di dunia ini yang nggak punya masa depan, Ca. Apa keluarga lo nggak tahu berapa penghasilan JK Rowling? Haah?” tampaknya Raja mulai kesal.
“Itukan JK Rowling Raj, bukan gue.” Kata Caca diikuti dengan desahan pelan. Wajahnya kelihatan layu. Mungkinkah ia mulai putus asa.
“Sebelum jadi yang sekarang ini, JK Rowling juga mengalami hal yang sama. Di tolak, dan diremehkan banyak orang termasuk keluarganya sendiri. Tapi keyakinannya cukup kuat, dan itu berhasil membawanya sampai sekarang ini.”
“Keluarga gue nggak akan mau mengerti itu, Raj. Itulah sebabnya kenapa gue nekat kos di Jakarta. Mungkin dengan begini gue nggak akan mendengar mereka ngebanding- bandingin hobi gue dengan obsesi mereka. Gue juga ingin ngebuktiin kalau penulis itu nggak seperti yang ada dalam pikiran mereka. Dan terpaksa gue bohongi mereka semua.” nada bicaranya lemah. Seperti baru saja melakukan sesuatu yang fatal lalu menyesalinya.
“Bohong?”
“Yang mereka tau gue kuliah!” jawabnya singkat.
Raja tertegun. Kali ini Raja kurang setuju dengan tindakan Caca. Mungkin memang alasannya cukup kuat, namun hal ini benar- benar salah.
“Ca, lo tau nggak kalau yang lo lakuin ini salah? Oke kalau memang alasan lo cukup kuat, tapi tetap lo nggak boleh bohongi mereka terus.”
Caca diam. Ia hanya menatap kedua bola mata Raja yang teduh. Bola mata yang semakin lama membuat dirinya nyaman.
“Pendidikan itu penting, Ca. Dan kalau misalnya lo nggak mau kuliah, lo harus bilang ke mereka. Lo juga nggak boleh bohong terus, Ca. Pandanglah ke depan! Dengan memandang ke depan, lo nggak akan pernah menyesal nantinya!”
Caca diam untuk beberapa saat. Mungkin ia sedang menyesali perbuatannya. Mungkin caca juga sudah mengerti apa yang ia lakukan selama ini salah, dan yang dikatakan Raja adalah benar.
“Tapi semuanya sudah terlambat.”
“Nggak ada kata terlambat, Ca. Lo masih punya waktu kok buat mikirin ini semua dan ngalakuin yang seharusnya lo lakuin sejak lama.” Raja menatap lekat kedua bola mata Caca yang indah. Indah akan kesederhanaannya.
“Gue akan pikirin itu, nanti!”
Raja menginjak gas tanpa persetujuan Caca. Ia kembali melajukan mobilnya ke tempat tujuan.
**
Setelah lama berkutat di mall tanpa tujuan yang jelas, Caca mengajak Raja masuk ke toko buku. Yah daripada masuk mall sia- sia nggak ngapa-ngapain, mendingan hunting buku kan? Lumayanlah buat referensi, pikir Caca.
“Lo suka genre apa, Raj?” tanya Caca ketika mereka sampai ke rak yang berlabelkan novel.
“Fantasy! Kalau lo?”
Caca tak langsung menjawab pertanyaan Raja. Ia hanya mengumbar senyum tipis, namun cukup menawan.
“Biar gue tebak! Lo suka genre yang romantis kan?”
“Yup! Romantic dan yang bikin terharu.”
“Ketahuan kok dari mata lo?”
Caca menyipitkan matanya. Masa sih? Emang matanya bisa ngomong? Ngomong apaan?
“Masa sih? Emangnya mata gue bilang apa?”
Raja menggelengkan kepalanya. “Nggak kok. Gue kan cuma nebak aja.”
“Nggak mesti romantis dan happy ending juga sih. Terkadang gue juga suka baca yang genre horor, fantasy, tapi terkadang aja. Hehehe..”
Bibir Raja membulat. Ia mengerti dan sempat mempelajarinya sedikit dari Mamanya. Sangat mudah untuk menebak bacaan kesukaan seseorang. Kita bisa melihat binar dari matanya, dan prilakunya sehari- hari. “Ternyata berguna juga apa yang dibilang nyokap gue.” Raja tersenyum kecil dan nggak sadar kalau Caca sudah tak ada lagi di hadapannya.
“Yah, ke mana sih Caca? Baru ditinggal ngelamun bentar udah ngilang! Punya keturunan jin kali ya?” Raja menggaruk- garuk kepalanya sambil terus berjalan mencari Caca. “Ca, jangan bikin gue setress kayak Ayu Ting Ting, dong!”
Ke mana.. ke mana.. ke mana..
TO BE CONTINUED…
**
Oleh : Vivie Hardika SS..
Jangan lupa tinggalkan kritik dan saran yah! Ke Hardika_cungkring@yahoo.com juga boleh kok. Apalagi ke akun facebook aku ‘Vivie Hardika Cungkring’. Tapi ingat, nggak boleh Copas.. Oke..
Xie xie Ni J

9 komentar:

Jangan malu- malu untuk berkomentar. Silahkan berikan komentar terbaik anda ^_^ Xie Xie Ni