Jumat, 10 Februari 2012

My Short Story - PREM KAHANI


Alhamdulillah, tanggal 5 yang notabenenya adalah tanggal favorit saya membawa keberuntungan bagi saya. Di Gaul edisi 5 yang terbit tanggal 05 February pula telah memuat cerpen saya untuk ketiga kalinya. (setau saya) ini pertama kalinya Gaul memuat cerpen dengan judul berbahasa India. yah, saya akui ini cuma ide yang berasal ketika saya mendengarkan lagu india. Dan saya memang tergila- gila banget sama film India. Tapi tenang aja, meskipun judulnya pake bahasa India, di sini nggak ada kok joget- joget ala india, lagu- lagu india, ataupun polisi india yang suka datang terlambat. Hihihi. Penasaran? Makanya baca..

PREM KAHANI
VIVIE HARDIKA SS


Anganku terus melambung tinggi di saat jemari- jemariku terus menari di atas keyboard. Senang rasanya bisa melakukan hal ini. Aku menyukai hal ini. Di saat anganku bisa bekerja sama dengan jari-jari mungilku. Tiada lagi yang lebih indah saat aku berada di depan laptop kesayanganku yang ku beri nama Joe. Sebuah nama yang aku adaptasi dari nama inggrisnya artis Taiwan kesayanganku.
PPRRAAKK!!
Seseorang telah membanting tumpukan kertas di atas mejaku. Aku terkejut dan segera melihat orang yang dengan beraninya masuk ke dalam kamarku sekaligus merusak angan- anganku. Dan yang lebih parahnya lagi, jari- jari mungilku berhenti menari.
“Apaan sih?” kesalku.
“Seharusnya gue yang tanya. Apa- apaan ini?” ujar Prem sembari mencampakkan gulungan majalah remaja ke hadapanku.
Aku sontak terkejut. Memangnya ada apa, sampai- sampai Prem marah begitu. Aku kemudian mengambil majalah yang tadi hampir saja jatuh dari meja belajarku, lalu membukanya secara perlahan. Setelah ku lihat covernya, aku mengenali majalah ini. Majalah yang sama dengan yang ku beli semalam. Majalah remaja mingguan yang telah memuat cerpenku.
“Lo kira- kira dong kalau mau buat cerpen. Lo samarkan kek, namanya. Bukan pake nama gue. Sekarang, satu sekolahan sedang mentertawakan gue. Puas Lo?” semakin lama ucapan Prem semakin keras di telingaku. Aku yang tak tahan refleks menutup kedua telingaku.
“Jangan mentang- mentang gue sering curhat sama lo, terus lo bisa seenaknya nulis kisah gue. Emang lo udah kehabisan khayalan lo, sampai- sampai kisah  gue lo palar?”
Aku diam. Aku bingung harus menjawab apa. Sumpah, kalau lagi marah mukanya itu nyeremin banget.
“Gue nyesel curhat sama lo.”
“Prem..” panggilku.
“Udah lah. Lebih baik lo terusin tuh cerpen bikinan lo, dan nggak usah peduliin gue lagi.”
Prem keluar dari kamarku begitu saja tanpa penjelasan dariku.
Angan- anganku pun enggan kembali sehingga jemari- jemariku juga enggan menari-nari lagi.
**

Namanya Prem. Lengkapnya Prem Raditya Sanjaya. Dengan mendengar namanya saja, sudah ketahuan kalau Prem ini anak blasteran. Prem sahabatku sejak kecil itu memang blasteran sunda-India.  Mamanya Sunda, dan Papa-nya India. Dulu, sewaktu aku baru pindah rumah, hanya Prem saja yang ramah dan mau mengajakku bermain. Sejak saat itulah aku akrab dengannya sampai sekarang ini. Tapi sekarang, Prem marah padaku karena kisah cintanya dengan Vanya yang kandas aku tulis dan aku kirim ke media.
Prem yang menurut arti namanya adalah cinta ternyata nggak membuat Prem memiliki kisah cinta yang apik dan indah. Selalu saja begini. Ditinggal selingkuh oleh pacar- pacarnya. Dan yang lebih parahnya, Prem pernah dijadikan barang taruhan oleh pacarnya. Gawat nggak tuh?
Aku sangat tertarik menulis kisah cintanya. Rupanya ketertarikanku membuat Prem marah entah sampai kapan.
 Baru kali ini Prem marah besar terhadapku, bahkan memandangku saja ia tidak mau. Prem, semoga ketika lo bangun tidur besok, lo mau ngajak gue berangkat ke sekolah bareng, dan aku janji nggak akan menulis kisah lo lagi. Ah, Prem! Jangan terlalu lama ngambek ya?
Haduh, kenapa tiba- tiba aku menceritakan bagaimana, Prem? Seharusnya aku mencari cara supaya Prem nggak marah lagi padaku. Aku men-Shut down laptopku, lalu tiduran di kasur sambil membaca novel yang baru beberapa lembar aku baca. Kedatangan Prem tadi membuat aku mengalami kebuntuan ide. Salah satu cara untuk me-refresh kembali ide-ideku, alangkah lebih baiknya aku membaca.
**

Aku berdiri dan menyandar di tembok gerbang. Aku menunggu Prem keluar dari rumahnya dan menyapaku seperti mana biasanya. Aku harap emosi Prem sudah mereda, dan harapan terbesarku, Prem lupa dengan kejadian kemaren siang. I hope so..
“Kalau masih marah, entar cepat tua loh Prem!” batinku.
Aku mendengar suara derungan matic kesayangan Prem. Aku tetap menyender , dan menantinya berhenti di depan gerbang rumahku. Tapi, Prem tidak melakukannya. Prem menarik kencang gas matic-nya ketika melewati rumahku, melewatiku juga. Aku sudah mencoba untuk memanggilnya, tapi sepertinya Prem sengaja tidak mendengarnya. Di sinilah aku sadar, maaf juga berguna.
Aku mendesah pelan sampai aku putuskan untuk berjalan sendirian ke halte bis terdekat. Hari ini hari pertamaku berangkat ke sekolah tanpa Prem.
“Prem, maafkan aku. I am so sorry. I hope you will forgive me!”
**

“Sha, emang beneran cerpen lo itu kisah-nya Prem? Sumpah deh, gue penasaran berat. Masa sih Shallu sampai segitunya sama Prem. Padahal, apa yang kurang coba dari Prem? Udah ganteng, smart, lumayan tajir, keren pula. Bener nggak sih, Sha?
Aku tertegun mendengar pertanyaan beruntun Nadia barusan. Nah! Inilah yang jadi masalah antara aku dan Prem saat ini. Apakah harus aku menceritakannya pada Nadia?
Aku belum menjawab. aku pura- pura nggak dengar sambil mengaduk- aduk mangkok baksoku. Aku ingin menghindari pertanyaan Nadia tadi, tapi Nadia terus menodongku.
“Jadi, Prem beneran udah putus sama Shallu?” tanyanya lagi.
Sumpah! Aku nggak berani menjawabnya. Alhasil, aku celingukan mencari batang hidungnya Prem ataupun Shallu. Setelah ku tau mereka nggak berada di kantin sekarang ini, barulah aku mantap menjawab pertanyaan Nadia. “Iya..” bisikku.
“Wah, gue jadi punya kesempatan nih! Gue yakin, Shallu bakalan nyesel udah mencampakkan Prem, dan bakalan ngiri juga karena aku segera menggantikannya. Thank’s info-nya ya, Sha..” kata Nadia sembari merapikan rambutnya, menggoyang- goyangkan bando pink-nya lalu merapikan dasi abu- abu-nya.
“Sontoloyo! Prem lagi marah sama gue, jadi lo nggak usah nambah- nambahin dong!” ujarku.
“Lho kok, bisa? Emang lo salah apa?” keningnya berkerut, mulutnya menganga, dan alisnya naik satu tingkat.
Aku nggak segera menjawab pertanyaan Nadia, aku malah menyedot teh botol-ku.
“Marsha..” panggilnya. Mungkin Nadia nggak sabaran menerima jawabanku, atau jangan- jangan Nadia mengira aku budek lagi. Marsha Budek, oh No!
“Kalau elo aja bisa berpikiran itu kisah Prem beneran, gimana dengan teman sekelasnya Prem, temen sekelas kita yang kenal Prem, atau kakak kelas yang kenal Prem dan mengenali gue sebagai penulis cerpen di majalah yang baru mereka baca? Itulah sebabnya Prem ngambek sama gue, tepatnya MARAH! Cerpen itu mencoreng nama baiknya.” aku menghela nafas setelah menyelesaikan kata- kata panjangku.
“Seharusnya Prem bangga yah bisa jadi tokoh dalam cerpen lo. Gue aja yang udah temenan dari SMP sama lo, nggak pernah tuh jadi salah satu tokoh dalam cerpen lo. Numpang lewat aja nggak pernah, apalagi sampai menggambarkan Nadia yang imut, cantik jelita, tidak sombong, rajin menabung, dan jadi rebutan banyak cowok. Boro- boro deh..” aku sempat melirik tatapan mata Nadia.
Oh ya? Astaga! Nadia memang benar. Selama ini aku lupa menyelipkan nama Nadia dalam cerpen- cerpenku. Kok bisa sih? Padahal, Nadia sudah terbilang lama menjadi sahabatku selain Prem.
Aku kembali menyedot teh botol-ku dan kembali diam karena nggak tau mesti jawab apa.
“Kan nggak semua orang senang bila kisahnya dipublikasikan begitu, Nad.” Ujarku.
Nadia terdiam lalu menatapku dengan tatapan kosong.
“Apaan sih, Nad? Kok ngeliatinnya sampai segitunya?” ujarku yang risih melihat tatapan kosongnya tadi.
“Nggak ah! Gue habis ngeliat sesuatu.” Ujarnya misterius.
“Apaan?”
Jangan- jangan Nadia ngeliat sesuatu. Sesuatu yang nggak jelas. Jangan- jangan… Iiiihh! Aku nggak berani nerusinnya.
“Gue ngeliat ada arus cinta yang keluar dari mata lo..”
WHAT? Apa- apaan sih? Cinta! Cinta! Arus listrik kali. Mata lo apa? Refleks, aku menjitak kepalanya Nadia. Tuk!
“Sakit tau, Sha..” adunya.
“Daripada lo ngomong yang enggak- enggak, entar deh gue bikin nama lo di cerpen gue.”
Nadia  seakan lupa dengan ucapan konyolnya tadi. “Lo memang harus nyelipin nama gue sebagai salah satu tokoh cerpen lo. Kalau enggak, LO GUE, END!”
**

Sampai kapan Prem akan diam begini? Tiap kali ku sms, Prem nggak pernah ngebales. Aku pernah menelponnya, namun juga nggak ada jawaban. Yang terdengar hanya ringbacktone-nya melulu, setelah itu, Tuuuttt! Tuuutt!! Mengharapkan Prem menelpon balik juga nggak mungkin. Prem lagi marah padaku, bukan lagi kehabisan pulsa.
Tiba- tiba aku teringat iklan di TV, nggak mungkin banget kalau Prem bakalan bilang “Gue nggak punya pulsaaa..”
Aku membuka laptopku dan mulai bermain dengan imajinasiku. Ku harap tarian jemariku bisa membuat Prem nggak lagi marah padaku.
**

Sudah hampir sebulan. Aku benar- benar tak habis fikir, masa sih Prem bisa marah sebegitu lama padaku. Yang lebih parahnya lagi, aku nggak punya kesempatan untuk mengucapkan kata maaf langsung kepada Prem.
Bagaimana bisa, kalau Prem selalu saja menghindar dariku. Setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, Prem nggak pernah kelihatan. Pintu kamarnya juga terkunci rapat. Di sekolah, rasanya sulit mencari Prem di sekolah yang nggak kecil.
“Hey kutu busuk, ngapain lo di situ?”
Aku celingukan mencari sumber suara yang dengan beraninya membangunkan lamunanku di atas pohon belimbing. Pohon belimbing  favoritku dan juga Prem. Selain buahnya yang menjadi favorit kami berdua, Prem juga mengajariku bagaimana memanjat pohon belimbing. Katanya dulu ‘kalau kita bisa ambil buahnya dengan tangan sendiri, pasti rasanya akan lebih manis lagi’. Aku masih ingat kata- kata itu.
“Berani- beraninya lo manjat pohon tanpa ngajak- ngajak gue..”
Itu Prem. Aku terkejut melihatnya. Benarkah yang ku lihat ini, Prem? Aku ragu, tapi sepertinya pandanganku nggak salah. Prem ikut memanjat pohon belimbing lalu menduduki dahan yang ada di depan dahan yang kududuki.
“Prem, lo nggak marah lagi sama gue?”
Aku belum mendengar jawaban ‘udah’ atau ‘belum’ dari Prem. Aku melihat Prem mengambil majalah dari belakang punggungnya dan menyodorkan padaku.
“Apa ini?”
“Baca aja!” katanya.
Aku beralih ke majalah yang tadi disodorkan Prem padaku. Aku terus membuka lembar demi lembar sampai aku shock pada lembaran pertengahan. “Ini kan cerpenku! Kok gue nggak dikabarin, yah?”
“Iya, itu cerpen lo. Harusnya gue bertambah marah waktu lo menulis nama gue lagi. Tapi…”
“Prem, bukan maksud gue nulis nama lo. Ini beneran gue yang bilang dan tulus dari lubuk hati terdalam gue. Gue bener- bener nyesel, dan gue janji ini yang terakhir kalinya. Plis Prem, maafin gue!” ujarku memotong. “Gue nggak tau harus gimana lagi? Gue udah kehabisan akal supaya lo mau ketemu gue dan mau maafin gue. Salah satunya jalan ya cuma ini Prem. Meminta maaf lewat media!”
“STOP!”
Aku diam.
“Gue ke sini bukan mau mendengar ocehan lo itu. Gue ke sini karena gue memang kangen sama lo. Gue capek kayak anak kecil terus, Sha.”
Aku masih diam. Aku membiarkan Prem menyelesaikan kata- katanya terlebih dahulu.
“Gue akui gue kekanak-kanakan gue. Seharusnya gue nggak menjadikan lo tumbal, Sha.”
Aku menatap tatapan tulus dari kedua bola matanya. Syukurlah kalau Prem.. “Jadi, lo maafin gue?” aku masih serius memandangi wajahnya dengan kening yang berkerut.
“Ya mau gimana lagi? Gue kangen  celotehan lo.” Ujarnya lagi.
Aku tersenyum sumringah. Thank’s God!
“Makasih ya Prem. Gue janji, nggak akan nulis nama lo lagi, asal lo tetap mau curhat sama gue. Yah?”
“Boleh- boleh aja sih kalo lo mau jadiin gue karakter dalam cerpen lo, asal lo traktir gue sekarang!”
Apa sih yang enggak buat Prem yang notabenenya adalah my best friend. Melihat senyumnya kembali nggak lebih barharga dari berlembar- lembar uang. Yah, meskipun aku tau senyuman Prem nggak mampu membeli pulsa, tapi, whatever-lah!
**


2 komentar:

  1. keren, Vie.... ajarin aku dong biar tembus media :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thengkyus ya Fanny :) Kalo aku belum mahir nembus media. Nulis aja masih belepotan. hehehe

      Hapus

Jangan malu- malu untuk berkomentar. Silahkan berikan komentar terbaik anda ^_^ Xie Xie Ni