Alhamdulillah, tanggal 5 yang notabenenya adalah tanggal favorit saya membawa keberuntungan bagi saya. Di Gaul edisi 5 yang terbit tanggal 05 February pula telah memuat cerpen saya untuk ketiga kalinya. (setau saya) ini pertama kalinya Gaul memuat cerpen dengan judul berbahasa India. yah, saya akui ini cuma ide yang berasal ketika saya mendengarkan lagu india. Dan saya memang tergila- gila banget sama film India. Tapi tenang aja, meskipun judulnya pake bahasa India, di sini nggak ada kok joget- joget ala india, lagu- lagu india, ataupun polisi india yang suka datang terlambat. Hihihi. Penasaran? Makanya baca..
PREM KAHANI
VIVIE HARDIKA SS
Anganku terus melambung tinggi di
saat jemari- jemariku terus menari di atas keyboard. Senang rasanya bisa
melakukan hal ini. Aku menyukai hal ini. Di saat anganku bisa bekerja sama
dengan jari-jari mungilku. Tiada lagi yang lebih indah saat aku berada di depan
laptop kesayanganku yang ku beri nama Joe. Sebuah nama yang aku adaptasi dari
nama inggrisnya artis Taiwan kesayanganku.
PPRRAAKK!!
“Apaan sih?” kesalku.
“Seharusnya gue yang tanya. Apa-
apaan ini?” ujar Prem sembari mencampakkan gulungan majalah remaja ke
hadapanku.
Aku sontak terkejut. Memangnya
ada apa, sampai- sampai Prem marah begitu. Aku kemudian mengambil majalah yang
tadi hampir saja jatuh dari meja belajarku, lalu membukanya secara perlahan.
Setelah ku lihat covernya, aku mengenali majalah ini. Majalah yang sama dengan
yang ku beli semalam. Majalah remaja mingguan yang telah memuat cerpenku.
“Lo kira- kira dong kalau mau
buat cerpen. Lo samarkan kek, namanya. Bukan pake nama gue. Sekarang, satu
sekolahan sedang mentertawakan gue. Puas Lo?” semakin lama ucapan Prem semakin
keras di telingaku. Aku yang tak tahan refleks menutup kedua telingaku.
“Jangan mentang- mentang gue
sering curhat sama lo, terus lo bisa seenaknya nulis kisah gue. Emang lo udah
kehabisan khayalan lo, sampai- sampai kisah
gue lo palar?”
Aku diam. Aku bingung harus
menjawab apa. Sumpah, kalau lagi marah mukanya itu nyeremin banget.
“Gue nyesel curhat sama lo.”
“Prem..” panggilku.
“Udah lah. Lebih baik lo terusin
tuh cerpen bikinan lo, dan nggak usah peduliin gue lagi.”
Prem keluar dari kamarku begitu
saja tanpa penjelasan dariku.
Angan- anganku pun enggan kembali
sehingga jemari- jemariku juga enggan menari-nari lagi.
**
Namanya Prem. Lengkapnya Prem
Raditya Sanjaya. Dengan mendengar namanya saja, sudah ketahuan kalau Prem ini
anak blasteran. Prem sahabatku sejak kecil itu memang blasteran sunda-India. Mamanya Sunda, dan Papa-nya India. Dulu,
sewaktu aku baru pindah rumah, hanya Prem saja yang ramah dan mau mengajakku
bermain. Sejak saat itulah aku akrab dengannya sampai sekarang ini. Tapi
sekarang, Prem marah padaku karena kisah cintanya dengan Vanya yang kandas aku
tulis dan aku kirim ke media.
Prem yang menurut arti namanya
adalah cinta ternyata nggak membuat Prem memiliki kisah cinta yang apik dan
indah. Selalu saja begini. Ditinggal selingkuh oleh pacar- pacarnya. Dan yang
lebih parahnya, Prem pernah dijadikan barang taruhan oleh pacarnya. Gawat nggak
tuh?
Aku sangat tertarik menulis kisah
cintanya. Rupanya ketertarikanku membuat Prem marah entah sampai kapan.
Baru kali ini Prem marah besar terhadapku,
bahkan memandangku saja ia tidak mau. Prem, semoga ketika lo bangun tidur
besok, lo mau ngajak gue berangkat ke sekolah bareng, dan aku janji nggak akan
menulis kisah lo lagi. Ah, Prem! Jangan terlalu lama ngambek ya?
Haduh, kenapa tiba- tiba aku
menceritakan bagaimana, Prem? Seharusnya aku mencari cara supaya Prem nggak
marah lagi padaku. Aku men-Shut down laptopku, lalu tiduran di kasur sambil
membaca novel yang baru beberapa lembar aku baca. Kedatangan Prem tadi membuat
aku mengalami kebuntuan ide. Salah satu cara untuk me-refresh kembali
ide-ideku, alangkah lebih baiknya aku membaca.
**
Aku berdiri dan menyandar di
tembok gerbang. Aku menunggu Prem keluar dari rumahnya dan menyapaku seperti
mana biasanya. Aku harap emosi Prem sudah mereda, dan harapan terbesarku, Prem
lupa dengan kejadian kemaren siang. I hope so..
“Kalau masih marah, entar cepat
tua loh Prem!” batinku.
Aku mendengar suara derungan matic
kesayangan Prem. Aku tetap menyender , dan menantinya berhenti di depan gerbang
rumahku. Tapi, Prem tidak melakukannya. Prem menarik kencang gas matic-nya
ketika melewati rumahku, melewatiku juga. Aku sudah mencoba untuk memanggilnya,
tapi sepertinya Prem sengaja tidak mendengarnya. Di sinilah aku sadar, maaf
juga berguna.
Aku mendesah pelan sampai aku
putuskan untuk berjalan sendirian ke halte bis terdekat. Hari ini hari
pertamaku berangkat ke sekolah tanpa Prem.
“Prem, maafkan aku. I am so sorry. I hope you will forgive me!”
**
“Sha, emang beneran cerpen lo itu
kisah-nya Prem? Sumpah deh, gue penasaran
berat. Masa sih Shallu sampai segitunya sama Prem. Padahal, apa yang kurang
coba dari Prem? Udah ganteng, smart, lumayan tajir, keren pula. Bener nggak
sih, Sha?”
Aku tertegun mendengar pertanyaan
beruntun Nadia barusan. Nah! Inilah yang
jadi masalah antara aku dan Prem saat ini. Apakah harus aku menceritakannya
pada Nadia?
Aku belum menjawab. aku pura-
pura nggak dengar sambil mengaduk- aduk mangkok baksoku. Aku ingin menghindari
pertanyaan Nadia tadi, tapi Nadia terus menodongku.
“Jadi, Prem beneran udah putus
sama Shallu?” tanyanya lagi.
Sumpah! Aku nggak berani
menjawabnya. Alhasil, aku celingukan mencari batang hidungnya Prem ataupun
Shallu. Setelah ku tau mereka nggak berada di kantin sekarang ini, barulah aku
mantap menjawab pertanyaan Nadia. “Iya..” bisikku.
“Wah, gue jadi punya kesempatan
nih! Gue yakin, Shallu bakalan nyesel
udah mencampakkan Prem, dan bakalan ngiri juga karena aku segera
menggantikannya. Thank’s info-nya ya, Sha..” kata Nadia sembari merapikan rambutnya,
menggoyang- goyangkan bando pink-nya lalu merapikan dasi abu- abu-nya.
“Sontoloyo! Prem lagi marah sama
gue, jadi lo nggak usah nambah- nambahin dong!” ujarku.
“Lho kok, bisa? Emang lo salah
apa?” keningnya berkerut, mulutnya menganga, dan alisnya naik satu tingkat.
Aku nggak segera menjawab pertanyaan
Nadia, aku malah menyedot teh botol-ku.
“Marsha..” panggilnya. Mungkin
Nadia nggak sabaran menerima jawabanku, atau jangan- jangan Nadia mengira aku
budek lagi. Marsha Budek, oh No!
“Kalau elo aja bisa berpikiran
itu kisah Prem beneran, gimana dengan teman sekelasnya Prem, temen sekelas kita
yang kenal Prem, atau kakak kelas yang kenal Prem dan mengenali gue sebagai penulis cerpen di majalah yang baru mereka baca?
Itulah sebabnya Prem ngambek sama gue, tepatnya MARAH! Cerpen itu mencoreng
nama baiknya.” aku menghela nafas setelah menyelesaikan kata- kata panjangku.
“Seharusnya Prem bangga yah bisa
jadi tokoh dalam cerpen lo. Gue aja yang udah temenan dari SMP sama lo, nggak
pernah tuh jadi salah satu tokoh dalam cerpen lo. Numpang lewat aja nggak
pernah, apalagi sampai menggambarkan Nadia yang imut, cantik jelita, tidak
sombong, rajin menabung, dan jadi rebutan banyak cowok. Boro- boro deh..” aku
sempat melirik tatapan mata Nadia.
Oh ya? Astaga! Nadia memang
benar. Selama ini aku lupa menyelipkan nama Nadia dalam cerpen- cerpenku. Kok
bisa sih? Padahal, Nadia sudah terbilang lama menjadi sahabatku selain Prem.
Aku kembali menyedot teh botol-ku
dan kembali diam karena nggak tau mesti jawab apa.
“Kan nggak semua orang senang
bila kisahnya dipublikasikan begitu, Nad.” Ujarku.
Nadia terdiam lalu menatapku
dengan tatapan kosong.
“Apaan sih, Nad? Kok ngeliatinnya
sampai segitunya?” ujarku yang risih melihat tatapan kosongnya tadi.
“Nggak ah! Gue habis ngeliat
sesuatu.” Ujarnya misterius.
“Apaan?”
Jangan- jangan Nadia ngeliat
sesuatu. Sesuatu yang nggak jelas. Jangan- jangan… Iiiihh! Aku nggak berani
nerusinnya.
“Gue ngeliat ada arus cinta yang
keluar dari mata lo..”
WHAT? Apa- apaan sih? Cinta!
Cinta! Arus listrik kali. Mata lo apa? Refleks, aku
menjitak kepalanya Nadia. Tuk!
“Sakit tau, Sha..” adunya.
“Daripada lo ngomong yang enggak-
enggak, entar deh gue bikin nama lo di cerpen gue.”
Nadia seakan lupa dengan ucapan konyolnya tadi. “Lo
memang harus nyelipin nama gue sebagai salah satu tokoh cerpen lo. Kalau
enggak, LO GUE, END!”
**
Sampai kapan Prem akan diam
begini? Tiap kali ku sms, Prem nggak pernah ngebales. Aku pernah menelponnya,
namun juga nggak ada jawaban. Yang terdengar hanya ringbacktone-nya melulu,
setelah itu, Tuuuttt! Tuuutt!! Mengharapkan Prem menelpon balik juga nggak
mungkin. Prem lagi marah padaku, bukan lagi kehabisan pulsa.
Tiba- tiba aku teringat iklan di
TV, nggak mungkin banget kalau Prem bakalan bilang “Gue nggak punya pulsaaa..”
Aku membuka laptopku dan mulai
bermain dengan imajinasiku. Ku harap tarian jemariku bisa membuat Prem nggak
lagi marah padaku.
**
Sudah hampir sebulan. Aku benar-
benar tak habis fikir, masa sih Prem bisa marah sebegitu lama padaku. Yang lebih
parahnya lagi, aku nggak punya kesempatan untuk mengucapkan kata maaf langsung
kepada Prem.
Bagaimana bisa, kalau Prem selalu
saja menghindar dariku. Setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, Prem nggak
pernah kelihatan. Pintu kamarnya juga terkunci rapat. Di sekolah, rasanya sulit
mencari Prem di sekolah yang nggak kecil.
“Hey kutu busuk, ngapain lo di
situ?”
Aku celingukan mencari sumber
suara yang dengan beraninya membangunkan lamunanku di atas pohon belimbing. Pohon
belimbing favoritku dan juga Prem. Selain
buahnya yang menjadi favorit kami berdua, Prem juga mengajariku bagaimana
memanjat pohon belimbing. Katanya dulu ‘kalau kita bisa ambil buahnya dengan
tangan sendiri, pasti rasanya akan lebih manis lagi’. Aku masih ingat kata-
kata itu.
“Berani- beraninya lo manjat
pohon tanpa ngajak- ngajak gue..”
Itu Prem. Aku terkejut
melihatnya. Benarkah yang ku lihat ini, Prem? Aku ragu, tapi sepertinya
pandanganku nggak salah. Prem ikut memanjat pohon belimbing lalu menduduki
dahan yang ada di depan dahan yang kududuki.
“Prem, lo nggak marah lagi sama
gue?”
Aku belum mendengar jawaban
‘udah’ atau ‘belum’ dari Prem. Aku melihat Prem mengambil majalah dari belakang
punggungnya dan menyodorkan padaku.
“Apa ini?”
“Baca aja!” katanya.
Aku beralih ke majalah yang tadi
disodorkan Prem padaku. Aku terus membuka lembar demi lembar sampai aku shock
pada lembaran pertengahan. “Ini kan cerpenku! Kok gue nggak dikabarin, yah?”
“Iya, itu cerpen lo. Harusnya gue
bertambah marah waktu lo menulis nama gue lagi. Tapi…”
“Prem, bukan maksud gue nulis
nama lo. Ini beneran gue yang bilang dan
tulus dari lubuk hati terdalam gue. Gue bener- bener nyesel, dan gue janji ini yang terakhir
kalinya. Plis Prem, maafin gue!” ujarku memotong. “Gue nggak tau harus gimana
lagi? Gue udah kehabisan akal supaya lo mau ketemu gue dan mau maafin gue.
Salah satunya jalan ya cuma ini Prem. Meminta maaf lewat media!”
“STOP!”
Aku diam.
“Gue ke sini bukan mau mendengar
ocehan lo itu. Gue ke sini karena gue memang kangen sama lo. Gue capek kayak
anak kecil terus, Sha.”
Aku masih diam. Aku membiarkan Prem menyelesaikan
kata- katanya terlebih dahulu.
“Gue akui gue kekanak-kanakan gue. Seharusnya gue
nggak menjadikan lo tumbal, Sha.”
Aku menatap tatapan tulus dari kedua bola matanya.
Syukurlah kalau Prem.. “Jadi, lo maafin gue?” aku masih serius
memandangi wajahnya dengan kening yang berkerut.
“Ya mau gimana lagi? Gue
kangen celotehan lo.” Ujarnya lagi.
Aku tersenyum sumringah. Thank’s
God!
“Makasih ya Prem. Gue janji,
nggak akan nulis nama lo lagi, asal lo tetap mau curhat sama gue. Yah?”
“Boleh- boleh aja sih kalo lo mau jadiin gue karakter dalam cerpen lo, asal lo traktir gue
sekarang!”
Apa sih yang enggak buat Prem yang notabenenya adalah
my best friend. Melihat senyumnya kembali nggak lebih barharga dari berlembar-
lembar uang. Yah, meskipun aku tau senyuman Prem nggak mampu membeli pulsa,
tapi, whatever-lah!
**
keren, Vie.... ajarin aku dong biar tembus media :D
BalasHapusThengkyus ya Fanny :) Kalo aku belum mahir nembus media. Nulis aja masih belepotan. hehehe
Hapus