DON’T LET ME..
EPISODE 6
DON’T LET ME FALL
IN YOUR LOVE
Cinta itu nggak memandang usia, jenis,
dan apapun itu.
Raja memparkirkan mobilnya tepat di depan kamarnya.
Setelah melempar segaris senyum untuk Caca, Raja membiarkan Caca keluar dan
masuk ke kamarnya.
Caca menoleh. Keningnya berkerut dan matanya sedikit
melebar. “Ya!”
“Nggak jadi deh. Kayaknya gue lupa mau ngomong apaan!”
kata Raja disusul senyum tipis karena kurang enak.
Kerutan di kening Caca bertambah. Ya elah, kok nggak
jadi sih? “Kok bisa sih?”
Raja tak menjawab, ia malah menggaruk- garuk
kepalanya.
“Kalau begitu gue masuk dulu ya, Raj!” pamitnya.
Raja mengiyakan dengan anggukannya, lalu melihat Caca
yang hilang di balik pintu bernomorkan 6. Mata Raja tak lepas dari seorang Caca
hingga ia benar- benar masuk ke kamarnya.
“Gue kenapa ya?” Tanya Raja pada dirinya sendiri.
Bahkan tangannya juga belum pindah dari kepalanya. Mencoba mencari jawaban,
setelah ia menggaruk habis kepalanya ia belum juga menemukan jawabannya.
Kira- kira, Raja kenapa ya?
**
“Mama senang kamu mau mampir ke kantor Mama, Raj!”
ujar wanita separu baya itu dengan segaris senyum yang tak henti-hentinya ia
sugukan ke hadapan putra bungsunya. “Bagaimana karir kamu, sayang?”
“Baru satu iklan, Ma.”
“Iklan apa? Apa sudah keluar?”
“Sudah! Iklan produk minuman yang mencampurkan susu
dengan buah.” jawabnya.
“Mama nggak pernah lihat kamu.”
“Itu karena Raja mengenakan kostum sapi?”
Mata Mama terbelalak. Mungkin ia kaget mendengar anak
tercintanya hanya menjadi seekor sapi dalam iklan kecil pula.
“Raja belum syuting lagi.” Jawabnya lirih.
“Kenapa?”
“Di tolak!”
Mama tersenyum miring, merasa apa yang dikatakannya
dulu itu benar. Tidak mudah terjun di dunia entertainment. “Benar kan yang Mama
bilang? Raja, sebenarnya kamu nggak perlu melakukan ini. Kamu nggak perlu
memulai dari bawah, kalau kamu bisa langsung seperti Revand. Semua itu membuang
waktu, sayang.”
“Mama, please, jangan halangi keinginanku. Raja ingin
meraih semuanya sendiri. Raja nggak akan pernah putus asa kok, meskipun Raja
belum bisa dapatkan peran penting.”
“Mama tidak tau, entah dari mana sifat keras kepalamu
itu.”
Raja diam. Hanya sebentar memberikan senyum tipis ke
Mamanya, lalu ia membuka ransel kesayangannya, dan mengambil amplop besar dan
meletakkannya ke atas meja kerja Mamanya.
Mama-nya Raja menaruh heran. Keningnya berkerut dan
alis matanya naik sebelah. Terang saja Mama-nya Raja heran. Raja meletakkan
amplop besar tanpa kata keterangan, jelas membuat Mama-nya bingung.
“Apa ini?” tanya Mama-nya Raja.
“Raja boleh minta tolong nggak, Ma? Sekali ini saja.”
bukannya menjawab, Raja malah meminta Mamanya memenuhi permintaannya.
Mama-nya Raja tak menjawab, namun anggukan kepalanya
cukup membuat Raja senang.
“Itu naskah temen Raja, Ma. Raja minta tolong, Mama
terbitkan naskah itu di penerbit Mama yah!” bujuknya pelan.
Kening Mama-nya Raja masih berkerut. Rasanya aneh,
ketika Raja memintanya untuk menerbitkan naskah orang lain yang belum tentu
lolos seleksi. Tapi, janji harus ditepati.
Mama meraih amplop besar itu dan memperhatikan betul
tulisan- tulisan yang tertera di atas amplop besar berwarna kuning itu. Mama
belum mengambil isi dari amplop besar itu, dan langsung mengembalikannya ke
Raja.
“Kenapa Ma?”
“Naskah itu nggak lolos seleksi. Mama baru saja
mengirim balik naskah ini ke penulisnya seminggu yang lalu.” Terang Mamanya.
“Tapi kenapa Ma? Naskah ini bagus kok!”
Raja masih ingin tahu kenapa Mama-nya menolak naskah
atas nama Marsha Rania.
“Tema yang diusung si penulis sudah banyak di pasaran,
dan kamu tau, tema seperti itu kurang menjual. Mama nggak mau bunuh diri dengan
mengambil tema yang sama.” Ujar Mama lagi.
“Apa Mama sudah membacanya?” Raja menatap Mama-nya
lekat- lekat. Seakan tak ingin satu gerakan Mama terlewatkan olehnya.
“Raj, kamu lihat tumpukan naskah itu?” Mama menuding
tumpukan naskah yang tertumpuk tepat di samping lemari kantor. Yah, jumlahnya
memang tidak sedikit. “Jika sinopsisnya kurang menarik, Mama langsung kirim
balik naskahnya. Mama nggak punya waktu banyak untuk membaca habis setiap
naskah yang masuk, Raj.”
“Ma, aku mohon dengarkan Raja. Di dalam tumpukan
naskah ini, terselip impian seorang gadis
yang terkekang. Terkekang untuk meraih mimpinya sendiri.”
“Lalu?”
“Raja mohon, beri satu kesempatan buatnya? Raja yakin,
masyarakat akan menerima karyanya. Si penulis menceritakan sebuah kisah cinta
yang universal. Yang tidak melulu
kepada kekasih. Raja bisa menerima pesan yang ia tuliskan, bahwa cinta itu
nggak memandang usia, jenis, dan apapun itu. Buat Raja, gaya berceritanya cukup
unik. Apa Mama tau, Raja sampai gregetan membaca endingnya. Open ending yang si
penulis sugukan membuat pembaca bertanya- tanya terus. Ma, Raja yakin novelnya akan
berada dalam rak berlabelkan best seller.”
“Kenapa? Kenapa kamu begitu yakin, Raj?”
Raja diam. Haruskah ia mengemukakan alasan kenapa ia
sangat yakin bahwa karya Caca akan diterima masyarakat? Haruskah ia memberitahu
kalau si penulis itu adalah tetangga kamar sebelah yang sudah baik kepadanya?
Haruskan Raja memberitahu Mamanya kalau Caca ingin membuktikan kepada
keluarganya kalau mimpinya itu nggak salah. Rasanya tidak perlu!
“Jika gagal, Raja janji akan kembali ke rumah, Ma!”
“Dan melupakan impianmu untuk memulai semuanya dari
nol?” tanya Mama-nya.
Raja tertunduk, lalu mengangguk untuk beberapa kali
sampai Mama-nya mau menuturkan jawaban
yang sangat ia inginkan.
“Baiklah! Mama akan mengikuti permintaanmu. Mama akan
menerbitkannya sesuai dengan kemauanmu. Tapi jika Mama benar, kamu harus mau
kembali ke Mama dan menuruti perkataan Mama.”
Raja tersenyum sumringah. Bahagia rasanya mendengar
Mama-nya mau menuruti saran darinya. Sekejap ia lupakan apa yang akan terjadi
ketika semuanya hancur berantakan. Ia lupa akan hal itu, yang terpikir saat ini
adalah bagaimana senyuman Caca akan menghiasi harinya ketika ia bisa meraih
impiannya. Raja yakin Caca akan menceritakannya nanti padanya dan berjingkrak-
jingkrak bersamanya.
“Kenapa kamu rela melakukan ini, Raj? Memangnya siapa
gadis itu?”
Pertanyaan yang membuat Raja gugup dan canggung.
Seketika itu pula, bayangan akan kebahagiaan Caca buyar dan hancur. Raja
tertegun. Ingin rasanya menjawabnya dengan cepat, tapi entah kenapa lidahnya
susah sekali untuk diajak berkompromi.
“Mama pikir, Mama mengerti!”
Raja mengelap peluhnya. Mungkin ia akan memikirkan
masalah ini nanti. Yang terpenting sekarang, Caca akan suka dengan pekerjaannya
kali ini.
Raja bangkit dari tempat duduknya dan memeluk Mama
sebagai ucapan terima kasihnya. Pelukan barusan juga pelukan rindu seorang anak
kepada Mamanya.
“Makasih ya Ma!”
“Iya, sayang!”
Raja melepaskan pelukannya, dan membalikkan badannya.
Cukup sudah kunjungannya hari ini, sudah waktunya pulang!
PRRAANNGG!!
Ransel Raja menyenggol segelas kopi karena terlalu
semangat ia membalikan badannya. Hal itu semakin memperburuk keadaan karena
cairan kopi itu tumpah di atas satu- satunya naskah di meja tersebut.
“Oooppss!!”
“Mama kira, kecerobohanmu sudah hilang. Sudahlah,
biarkan Mama yang membereskannya nanti. Dasar ceroboh!”
“Maaf, Ma!”
**
“Raaajjjaaa..”
Entah sudah berapa
lama Ari berdiri di depa kamar Raja sembari meneriaki namanya, namun belum juga
ada jawaban dari si empunya kamar. Entah apa yang sedang dilakukan Raja sehingga
tak mendengar sahabat karibnya datang mengunjunginya.
“Ini anak ke mana
sih? Handphonenya mailbox mulu, malah
kosannya sepi lagi. Ke mana sih Raja? Raajaaa..”
Ari mengubah
ketukannya menjadi gedoran yang lumayan menganggu. Niatnya sih supaya Raja
dengar dan cepat membukakan pintu untuknya, tapi malah mengusik tetangga kamar
sebelah.
WOY! BERISIIIIKK!!
Ari langsung
berhenti. Ia tak menggedor lagi, dan kembali mengetuk sambil sesekali
mengeromet karena Raja tak kunjung juga mendengarnya. “Berisik, berisik! Kalau
nggak mau berisik, sana di hutan. Lebih tenang dan sunyi! Yang ada gue nih yang
bersisik nungguin tetangga lo satu ini!” ujarnya sewot.
“Cari Raja ya, mas?”
Kontan Ari terdiam
mendengar suara nan lembut itu dari arah yang berlawanan. Ari pun menoleh.
Dilihatnya cewek kamar sebelah berdiri di depan tembok pembatas antara kamar
yang satu dengan kamar yang lainnya, menyapa dan sedikit tersenyum kepadanya.
Tiba- tiba, ada angin
menyibak ke wajahnya begitu kencang. Seperti puting beliung menari- nari di
atas daratan yang merata. (lebay dikit boleh dong!) Melihat angin menyapu rambutnya
yang sedikit ikal, membuat jantung Ari berdetak tak sesuai dengan ritmenya
lagi. Wah! Gawat ini!
“Mas!” tegur Caca
lagi.
Barulah Ari sadar dan
buru- buru memasang tampang seperti semula. Seperti tidak ada apa- apa
sebelumnya, atau paling nggak pura- pura cool lah!
“Iya neng. Kok eneng
tau?” Perlahan Ari menjauh dari kamar
nomor 5 dan mendekati kamar nomor 6.
“Tadi gue lihat Raja
keluar. Mungkin belum balik. Mas temen kampusnya yah?” tanya Caca lagi.
Mendengar Caca bolak-
balik memanggilnya ‘mas’ Ari sedikit risih. “Haduh, jangan panggil saya Mas,
dong! Gue kan belum mas- mas. Masih
perjaka ting-ting!”
Caca malah tersenyum
geli mendengar Ari mengatakan kata ‘ting-ting’ sambil mengankat- angkat alisnya
dengan genit.
“Gue Ari, sohibnya
Raja.” tanya Ari dan tak lupa untuk mengulurkan tangannya ke Caca.
“Marsha. Tapi lo
cukup panggil gue, Caca…” balas Caca.
“Nama yang bagus! Lo
ngekos di sini juga?” basa basi Ari.
Caca mengangguk tanpa
ragu.
“Sudah berapa lama?”
tanyanya lagi.
“Belum lama juga sih,
tapi yaaahh, gue lebih duluan ngekos di sini daripada Raja.”
“Asal lo…?”
“Bandung!”
Ari
mengangguk-anggukkan kepalanya. Saat ini Ari berubah menjadi seorang yang
tukang tanya. Seperti seorang Bos yang sedang meng-interview calon pegawainya. Yah! Itu memang wajar dilakukan oleh
dua orang yang baru kenal, kenalan gitu maksudnya.
“By the way, Raja udah lama perginya?”
Sepertinya Ari
kehabisan stok pertanyaan. Setelah menanyakan ini dan itu tentang Caca,
akhirnya ia juga menanyakan Raja yang menjadi tujuan sebenarnya.
“Tuh dia..”
Ari menoleh ke jalan,
dan ternyata benar. Raja baru masuk kosan, dan sekarang sudah parkir dengan
rapi di depan halaman kamar nomor 5.
“Eh, lo ngapain di
sini?” sapa Raja yang baru saja keluar dari mobil antiknya.
“Ca, gue samperin
Raja dulu yah. By the way, thanks ya udah ditemenin ngobrol!” ucap Ari ke Caca
sebelum ia benar- benar beralih ke Raja.
“Its okay!”
“Bye Bye cantiikk..”
Caca sampai risih
mendengar ucapan Ari barusan, dan buru- buru masuk melanjutkan pekerjaan yang
hampir setengah jam ia tinggalkan. Sebenarnya tadi Caca ingin sekali mengobrol
di dalam kamar sembari ia menyelesaikan
naskah- naskahnya, tapi keburu inget, gimana kalau orang ini jahat? Dan gimana
pula kalau ada yang berpikiran macam- macam tentangnya karena membawa seorang
cowok tak dikenal ke dalam kamarnya? WOW!
It’s unpredictable!
“Cuy, lo kok nggak
pernah cerita kalau ada bidadari di sebelah kamar kosan elo sih! Curang lo!”
protes Ari.
Raja tak menghiraukan
Ari, ia malah santai berjalan ke kamarnya dan CTEEKK!! Kamar bernomor 5
terbuka, dan Raja langsung masuk tanpa mempersilahkan Ari.
“Kalau begini keadaannya,
gue ikut ngekos juga ah di sini!”
Raja terbelalak.
“Gila lo! Buat apa? Lo kan punya rumah!”
“Wey, gue ini laki, man! Calon pria sejati! Masa harus tinggal
di rumah orang tua terus. Sesekali mandiri boleh lah, apalagi ada bidadari di
sebelah kamar lo. Gue yakin, nggak cuma dia bidadari penghuni kos-kosan ini.
Pasti banyak lagi. Iya kan?”
Raja acuh.
Ditelentangkannya sekujur tubuhnya ke atas kasur dan mencoba tertidur ditengah
kicauan Ari yang dianggapnya tak penting sama sekali.
“Eh, cuy! Kira- kira,
Caca udah punya pacar belum?”
TO BE
CONTINUED…
**
Oleh : Vivie
Hardika SS..
Jangan lupa tulis kritik dan sarannya di dalam kotak
komentar yah! Tapi ingat, nggak boleh Copas.. Oke..
Xie xie Ni J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan malu- malu untuk berkomentar. Silahkan berikan komentar terbaik anda ^_^ Xie Xie Ni