Minggu, 26 Februari 2012

DON'T LET ME - EPISODE 6


DON’T LET ME..

EPISODE 6
DON’T  LET ME FALL  IN  YOUR  LOVE

Cinta itu nggak memandang usia, jenis, dan apapun itu.

Raja memparkirkan mobilnya tepat di depan kamarnya. Setelah melempar segaris senyum untuk Caca, Raja membiarkan Caca keluar dan masuk ke kamarnya.
“Ca!” panggil Raja saat Caca keluar dari mobilnya dan hendak masuk ke kamarnya, sedangkan ia masih setia berada dalam mobil kesayangannya itu.
Caca menoleh. Keningnya berkerut dan matanya sedikit melebar. “Ya!”
“Nggak jadi deh. Kayaknya gue lupa mau ngomong apaan!” kata Raja disusul senyum tipis karena kurang enak.
Kerutan di kening Caca bertambah. Ya elah, kok nggak jadi sih? “Kok bisa sih?”
Raja tak menjawab, ia malah menggaruk- garuk kepalanya.
“Kalau begitu gue masuk dulu ya, Raj!” pamitnya.
Raja mengiyakan dengan anggukannya, lalu melihat Caca yang hilang di balik pintu bernomorkan 6. Mata Raja tak lepas dari seorang Caca hingga ia benar- benar masuk ke kamarnya.
“Gue kenapa ya?” Tanya Raja pada dirinya sendiri. Bahkan tangannya juga belum pindah dari kepalanya. Mencoba mencari jawaban, setelah ia menggaruk habis kepalanya ia belum juga menemukan jawabannya.
Kira- kira, Raja kenapa ya?
**

“Mama senang kamu mau mampir ke kantor Mama, Raj!” ujar wanita separu baya itu dengan segaris senyum yang tak henti-hentinya ia sugukan ke hadapan putra bungsunya. “Bagaimana karir kamu, sayang?”
“Baru satu iklan, Ma.”
“Iklan apa? Apa sudah keluar?”
“Sudah! Iklan produk minuman yang mencampurkan susu dengan buah.” jawabnya.
“Mama nggak pernah lihat kamu.”
“Itu karena Raja mengenakan kostum sapi?”
Mata Mama terbelalak. Mungkin ia kaget mendengar anak tercintanya hanya menjadi seekor sapi dalam iklan kecil pula.
“Raja belum syuting lagi.” Jawabnya lirih.
“Kenapa?”
“Di tolak!”
Mama tersenyum miring, merasa apa yang dikatakannya dulu itu benar. Tidak mudah terjun di dunia entertainment. “Benar kan yang Mama bilang? Raja, sebenarnya kamu nggak perlu melakukan ini. Kamu nggak perlu memulai dari bawah, kalau kamu bisa langsung seperti Revand. Semua itu membuang waktu, sayang.”
“Mama, please, jangan halangi keinginanku. Raja ingin meraih semuanya sendiri. Raja nggak akan pernah putus asa kok, meskipun Raja belum bisa dapatkan peran penting.”
“Mama tidak tau, entah dari mana sifat keras kepalamu itu.”
Raja diam. Hanya sebentar memberikan senyum tipis ke Mamanya, lalu ia membuka ransel kesayangannya, dan mengambil amplop besar dan meletakkannya ke atas meja kerja Mamanya.
Mama-nya Raja menaruh heran. Keningnya berkerut dan alis matanya naik sebelah. Terang saja Mama-nya Raja heran. Raja meletakkan amplop besar tanpa kata keterangan, jelas membuat Mama-nya bingung.
“Apa ini?” tanya Mama-nya Raja.
“Raja boleh minta tolong nggak, Ma? Sekali ini saja.” bukannya menjawab, Raja malah meminta Mamanya memenuhi permintaannya.
Mama-nya Raja tak menjawab, namun anggukan kepalanya cukup membuat Raja senang.
“Itu naskah temen Raja, Ma. Raja minta tolong, Mama terbitkan naskah itu di penerbit Mama yah!” bujuknya pelan.
Kening Mama-nya Raja masih berkerut. Rasanya aneh, ketika Raja memintanya untuk menerbitkan naskah orang lain yang belum tentu lolos seleksi. Tapi, janji harus ditepati.
Mama meraih amplop besar itu dan memperhatikan betul tulisan- tulisan yang tertera di atas amplop besar berwarna kuning itu. Mama belum mengambil isi dari amplop besar itu, dan langsung mengembalikannya ke Raja.
“Kenapa Ma?”
“Naskah itu nggak lolos seleksi. Mama baru saja mengirim balik naskah ini ke penulisnya seminggu yang lalu.” Terang Mamanya.
“Tapi kenapa Ma? Naskah ini bagus kok!”
Raja masih ingin tahu kenapa Mama-nya menolak naskah atas nama Marsha Rania.
“Tema yang diusung si penulis sudah banyak di pasaran, dan kamu tau, tema seperti itu kurang menjual. Mama nggak mau bunuh diri dengan mengambil tema yang sama.” Ujar Mama lagi.
“Apa Mama sudah membacanya?” Raja menatap Mama-nya lekat- lekat. Seakan tak ingin satu gerakan Mama terlewatkan olehnya.
“Raj, kamu lihat tumpukan naskah itu?” Mama menuding tumpukan naskah yang tertumpuk tepat di samping lemari kantor. Yah, jumlahnya memang tidak sedikit. “Jika sinopsisnya kurang menarik, Mama langsung kirim balik naskahnya. Mama nggak punya waktu banyak untuk membaca habis setiap naskah yang masuk, Raj.”
“Ma, aku mohon dengarkan Raja. Di dalam tumpukan naskah ini, terselip impian seorang gadis  yang terkekang. Terkekang untuk meraih mimpinya sendiri.”
“Lalu?”
“Raja mohon, beri satu kesempatan buatnya? Raja yakin, masyarakat akan menerima karyanya. Si penulis menceritakan sebuah kisah cinta yang universal. Yang tidak melulu kepada kekasih. Raja bisa menerima pesan yang ia tuliskan, bahwa cinta itu nggak memandang usia, jenis, dan apapun itu. Buat Raja, gaya berceritanya cukup unik. Apa Mama tau, Raja sampai gregetan membaca endingnya. Open ending yang si penulis sugukan membuat pembaca bertanya- tanya terus. Ma, Raja yakin novelnya akan berada dalam rak berlabelkan best seller.”
“Kenapa? Kenapa kamu begitu yakin, Raj?”
Raja diam. Haruskah ia mengemukakan alasan kenapa ia sangat yakin bahwa karya Caca akan diterima masyarakat? Haruskah ia memberitahu kalau si penulis itu adalah tetangga kamar sebelah yang sudah baik kepadanya? Haruskan Raja memberitahu Mamanya kalau Caca ingin membuktikan kepada keluarganya kalau mimpinya itu nggak salah. Rasanya tidak perlu!
“Jika gagal, Raja janji akan kembali ke rumah, Ma!”
“Dan melupakan impianmu untuk memulai semuanya dari nol?” tanya Mama-nya.
Raja tertunduk, lalu mengangguk untuk beberapa kali sampai Mama-nya mau menuturkan jawaban  yang sangat ia inginkan.
“Baiklah! Mama akan mengikuti permintaanmu. Mama akan menerbitkannya sesuai dengan kemauanmu. Tapi jika Mama benar, kamu harus mau kembali ke Mama dan menuruti perkataan Mama.”
Raja tersenyum sumringah. Bahagia rasanya mendengar Mama-nya mau menuruti saran darinya. Sekejap ia lupakan apa yang akan terjadi ketika semuanya hancur berantakan. Ia lupa akan hal itu, yang terpikir saat ini adalah bagaimana senyuman Caca akan menghiasi harinya ketika ia bisa meraih impiannya. Raja yakin Caca akan menceritakannya nanti padanya dan berjingkrak- jingkrak bersamanya.
“Kenapa kamu rela melakukan ini, Raj? Memangnya siapa gadis itu?”
Pertanyaan yang membuat Raja gugup dan canggung. Seketika itu pula, bayangan akan kebahagiaan Caca buyar dan hancur. Raja tertegun. Ingin rasanya menjawabnya dengan cepat, tapi entah kenapa lidahnya susah sekali untuk diajak berkompromi.
“Mama pikir, Mama mengerti!”
Raja mengelap peluhnya. Mungkin ia akan memikirkan masalah ini nanti. Yang terpenting sekarang, Caca akan suka dengan pekerjaannya kali ini.
Raja bangkit dari tempat duduknya dan memeluk Mama sebagai ucapan terima kasihnya. Pelukan barusan juga pelukan rindu seorang anak kepada Mamanya.
“Makasih ya Ma!”
“Iya, sayang!”
Raja melepaskan pelukannya, dan membalikkan badannya. Cukup sudah kunjungannya hari ini, sudah waktunya pulang!
PRRAANNGG!!
Ransel Raja menyenggol segelas kopi karena terlalu semangat ia membalikan badannya. Hal itu semakin memperburuk keadaan karena cairan kopi itu tumpah di atas satu- satunya naskah di meja tersebut.
“Oooppss!!”
“Mama kira, kecerobohanmu sudah hilang. Sudahlah, biarkan Mama yang membereskannya nanti. Dasar ceroboh!”
“Maaf, Ma!”
**

“Raaajjjaaa..”
Entah sudah berapa lama Ari berdiri di depa kamar Raja sembari meneriaki namanya, namun belum juga ada jawaban dari si empunya kamar. Entah apa yang sedang dilakukan Raja sehingga tak mendengar sahabat karibnya datang mengunjunginya.
“Ini anak ke mana sih? Handphonenya mailbox mulu, malah kosannya sepi lagi. Ke mana sih Raja? Raajaaa..”
Ari mengubah ketukannya menjadi gedoran yang lumayan menganggu. Niatnya sih supaya Raja dengar dan cepat membukakan pintu untuknya, tapi malah mengusik tetangga kamar sebelah.
WOY! BERISIIIIKK!!
Ari langsung berhenti. Ia tak menggedor lagi, dan kembali mengetuk sambil sesekali mengeromet karena Raja tak kunjung juga mendengarnya. “Berisik, berisik! Kalau nggak mau berisik, sana di hutan. Lebih tenang dan sunyi! Yang ada gue nih yang bersisik nungguin tetangga lo satu ini!” ujarnya sewot.
“Cari Raja ya, mas?”
Kontan Ari terdiam mendengar suara nan lembut itu dari arah yang berlawanan. Ari pun menoleh. Dilihatnya cewek kamar sebelah berdiri di depan tembok pembatas antara kamar yang satu dengan kamar yang lainnya, menyapa dan sedikit tersenyum kepadanya.
Tiba- tiba, ada angin menyibak ke wajahnya begitu kencang. Seperti puting beliung menari- nari di atas daratan yang merata. (lebay dikit boleh dong!) Melihat angin menyapu rambutnya yang sedikit ikal, membuat jantung Ari berdetak tak sesuai dengan ritmenya lagi. Wah! Gawat ini!
“Mas!” tegur Caca lagi.
Barulah Ari sadar dan buru- buru memasang tampang seperti semula. Seperti tidak ada apa- apa sebelumnya, atau paling nggak pura- pura cool lah!
“Iya neng. Kok eneng tau?”  Perlahan Ari menjauh dari kamar nomor 5 dan mendekati kamar nomor 6.
“Tadi gue lihat Raja keluar. Mungkin belum balik. Mas temen kampusnya yah?” tanya Caca lagi.
Mendengar Caca bolak- balik memanggilnya ‘mas’ Ari sedikit risih. “Haduh, jangan panggil saya Mas, dong!  Gue kan belum mas- mas. Masih perjaka ting-ting!”
Caca malah tersenyum geli mendengar Ari mengatakan kata ‘ting-ting’ sambil mengankat- angkat alisnya dengan genit.
“Gue Ari, sohibnya Raja.” tanya Ari dan tak lupa untuk mengulurkan tangannya ke Caca.
“Marsha. Tapi lo cukup panggil gue, Caca…” balas Caca.
“Nama yang bagus! Lo ngekos di sini juga?” basa basi Ari.
Caca mengangguk tanpa ragu.
“Sudah berapa lama?” tanyanya lagi.
“Belum lama juga sih, tapi yaaahh, gue lebih duluan ngekos di sini daripada Raja.”
“Asal lo…?”
“Bandung!”
Ari mengangguk-anggukkan kepalanya. Saat ini Ari berubah menjadi seorang yang tukang tanya. Seperti seorang Bos yang sedang meng-interview calon pegawainya. Yah! Itu memang wajar dilakukan oleh dua orang yang baru kenal, kenalan gitu maksudnya.
By the way, Raja udah lama perginya?”
Sepertinya Ari kehabisan stok pertanyaan. Setelah menanyakan ini dan itu tentang Caca, akhirnya ia juga menanyakan Raja yang menjadi tujuan sebenarnya.
“Tuh dia..”
Ari menoleh ke jalan, dan ternyata benar. Raja baru masuk kosan, dan sekarang sudah parkir dengan rapi di depan halaman kamar nomor 5.
“Eh, lo ngapain di sini?” sapa Raja yang baru saja keluar dari mobil antiknya.
“Ca, gue samperin Raja dulu yah. By the way, thanks  ya udah ditemenin ngobrol!” ucap Ari ke Caca sebelum ia benar- benar beralih ke Raja.
“Its okay!”
Bye Bye  cantiikk..”
Caca sampai risih mendengar ucapan Ari barusan, dan buru- buru masuk melanjutkan pekerjaan yang hampir setengah jam ia tinggalkan. Sebenarnya tadi Caca ingin sekali mengobrol di dalam kamar sembari ia menyelesaikan  naskah- naskahnya, tapi keburu inget, gimana kalau orang ini jahat? Dan gimana pula kalau ada yang berpikiran macam- macam tentangnya karena membawa seorang cowok tak dikenal ke dalam kamarnya? WOW! It’s unpredictable!
“Cuy, lo kok nggak pernah cerita kalau ada bidadari di sebelah kamar kosan elo sih! Curang lo!” protes Ari.
Raja tak menghiraukan Ari, ia malah santai berjalan ke kamarnya dan CTEEKK!! Kamar bernomor 5 terbuka, dan Raja langsung masuk tanpa mempersilahkan Ari.
“Kalau begini keadaannya, gue ikut ngekos juga ah di sini!”
Raja terbelalak. “Gila lo! Buat apa? Lo kan punya rumah!”
“Wey, gue ini laki, man! Calon pria sejati! Masa harus tinggal di rumah orang tua terus. Sesekali mandiri boleh lah, apalagi ada bidadari di sebelah kamar lo. Gue yakin, nggak cuma dia bidadari penghuni kos-kosan ini. Pasti banyak lagi. Iya kan?”
Raja acuh. Ditelentangkannya sekujur tubuhnya ke atas kasur dan mencoba tertidur ditengah kicauan Ari yang dianggapnya tak penting sama sekali.
“Eh, cuy! Kira- kira, Caca udah punya pacar belum?”
TO BE CONTINUED…
**
Oleh : Vivie Hardika SS..
Jangan lupa tulis kritik dan sarannya di dalam kotak komentar yah! Tapi ingat, nggak boleh Copas.. Oke..
Xie xie Ni J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan malu- malu untuk berkomentar. Silahkan berikan komentar terbaik anda ^_^ Xie Xie Ni